News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Garuda Indonesia Merugi

Anggota DPR: Jangan Sampai Garuda Indonesia Tamat Saat Era Jokowi

Penulis: Seno Tri Sulistiyono
Editor: Sanusi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Maskapai Garuda Indonesia

"Tidak ada pilihan, karena ekuitas mereka sudah negatif. Mereka butuh cashflow dan pertahankan cashflow mereka kurangi cost," kata Alfred saat dihubungi, Senin (24/5/2021).

Baca juga: Bisnis Garuda Remuk Terimbas Larangan Mudik Lebaran, Hanya 30 Penerbangan Per Hari

Jika Garuda disuntik modal oleh pemerintah, kata Alfred, hal tersebut akan menjadi sia-sia karena kondisi bisnis penerbangan masih akan tertekan akibat pandemi.

"Jadi meski sudah berjalan sekarang tapi kan tidak dengan kapasitas 100 persen, itu saja bisa dikatakan minus. Sehebat apapun manajemen, kalau kondisi seperti ini cukup berat," paparnya.

"Tidak ada pilihan lain, selain tekan biaya operasional sembari menunggu bisnis penerbangan berjalan baik meski sekarang lambat," sambung Alfred.

Baca juga: Garuda Indonesia Terlilit Utang Rp70 Triliun, Begini Kondisinya

Sementara terkait kinerja saham GIAA sepekan ke depan, Afred menyebut level support akan berada di Rp 276 dan resistance Rp 300 per saham.

"Untuk besok kemungkinan masih ARB (auto reject bawah)," ucapnya.

Sebelumnya, PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) bakal merestrukturisasi bisnis sepenuhnya. Salah satunya dengan rencana mengurangi jumlah operasi pesawat yang dioperasikan sehingga dapat bertahan dari pandemi COVID-19.

Hal itu disampaikan Direktur Utama PT Garuda Indonesia Tbk Irfan Setiaputra kepada staf dalam rapat internal.

"Kami harus melakukan restrukturisasi yang komprehensif menjadi satu. Kami memiliki 142 pesawat dan perhitungan awal kami tentang bagaimana kami melihat pemulihan ini telah berjalan, dan kami akan beroperasi dengan jumlah pesawat tidak lebih dari 70,"ujar Irvan saat rapat dengan staf pada 19 Mei 2021, berdasarkan rekaman yang didengar oleh Bloomberg, dilansir dari laman The Star, Senin (24/5/2021).

Pernyataan tersebut merujuk pada maskapai Garuda Indonesia, dan tidak termasuk Citilink. Garuda Indonesia sudah beroperasi dengan kapasitas berkurang hanya 41 pesawat. Irfan menuturkan, pihaknya belum dapat menerbangkan pesawat lainnya karena belum membayar kepada lessor selama berbulan-bulan.

Selain itu, Irfan juga mengatakan, Garuda Indonesia memiliki utang sekitar Rp 70 triliun atau USD 4,9 miliar. Utang tersebut meningkat lebih dari Rp 1 triliun setiap bulan karena terus menunda pembayaran kepada pemasok.

Perusahaan memiliki arus kas negatif dan ekuitas minus Rp 41 triliun.Irfan pun enggan berkomentar saat dihubungi Bloomberg terkait hal tersebut.

Di sisi lain, Garuda Indonesia sedang dalam tahap awal untuk menawarkan program pensiun dini bagi karyawan sebagai bagian dari langkah pemangkasan biaya. Grup tersebut memiliki 15.368 karyawan dan operasikan 210 pesawat pada September 2020.

Dirut Garuda Buka-bukaan

Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan, langkah itu diambil agar maskapai nasional tersebut bisa bertahan di tengah krisis akibat pandemi Covid-19.

"Ini merupakan langkah berat yang harus ditempuh Perusahaan. Namun opsi ini harus kami ambil untuk bertahan ditengah ketidakpastian situasi pemulihan kinerja industri penerbangan yang belum menunjukan titik terangnya di masa pandemi Covid-19 ini," ujar Irfan dalam keterangan tertulisnya, Jumat (21/5/2021) kemarin.

Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra menjawab pertanyaan jurnalis saat melakukan sesi wawancara dengan Tribunnews.com di kantor Garuda Indonesia, Bandara Soekarno-Hatta, Banten, Kamis (11/6/2020). TRIBUNNEWS/DANY PERMANA (TRIBUN/DANY PERMANA)

Mantan Direktur Utama PT INTI itu menjelaskan, saat ini Garuda Indonesia tengah berupaya melakukan pemulihan kinerja usaha di masa pandemi Covid-19. Hal ini dilakukan agar perusahaan lebih sehat, serta adaptif menjawab tantangan kinerja usaha di era kenormalan baru.

"Situasi pandemi yang masih terus berlangsung hingga saat ini, mengharuskan perusahaan melakukan langkah penyesuaian aspek supply & demand ditengah penurunan kinerja operasi imbas penurunan trafik penerbangan yang terjadi secara signifikan," kata dia.

Kendati begitu, Irfan memastikan program pensiun dini ini ditawarkan secara sukarela terhadap karyawan yang telah memenuhi kriteria.

Seluruh hak pegawai yang akan mengambil program tersebut akan dipenuhi sesuai dengan ketentuan perundangan-undangan yang berlaku, serta kebijakan perjanjian kerja yang disepakati antara karyawan dan perusahaan.

Selain itu, lanjut Irfan, pihaknya berupaya untuk memberikan kesempatan kepada karyawan yang ingin merencanakan masa pensiun sebaik mungkin, khususnya bagi mereka yang memiliki prioritas lain di luar pekerjaan, maupun peluang karir lainnya di luar perusahaan.

"Kebijakan ini menjadi penawaran terbaik yang dapat kami upayakan terhadap karyawan ditengah situasi pandemi saat ini, yang tentunya senantiasa mengedepankan kepentingan bersama seluruh pihak, dalam hal ini karyawan maupun perusahaan," ungkapnya.

Sementara itu, Serikat pekerja PT Garuda Indonesia Tbk (Persero) menilai program pensiun dini yang ditawarkan pihak manajemen merupakan solusi di tengah tekanan kinerja keuangan perusahaan akibat pandemi Covid-19.

Sebab, telah disepakati pula untuk tak ada pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak. Penawaran pensiun dini dikabarkan langsung oleh jajaran direksi perusahaan kepada karyawan melalui pertemuan virtual pada Rabu (19/5/2021).

Penawaran ini pun berlaku untuk semua karyawan Garuda Indonesia. Presiden Asosiasi Pilot Garuda Indonesia (APG) Muzaeni mengatakan, sebelum penawaran pensiun dini diberikan kepada karyawan, manajemen perusahaan telah lebih dulu duduk bersama dengan serikat pekerja untuk membicarakan kondisi terkini dan rencana restrukturisasi perusahaan.

"Sebelum penawaran ini memang ada pembicaraan-pembicaraan, karena keuangan perusahaan yang semakin turun drastis dan merugi, serta utang semakin banyak," ungkapnya kepada Kompas.com, Jumat (21/5/2021).

Menurut dia, pembicaraan kondisi perusahaan sebenarnya sudah berlangsung sejak 2020 ketika awal pandemi Covid-19 melanda. Keuangan perusahaan terus tergerus dan utang kian menumpuk.

Dalam pembicaraan dengan manajemen perusahaan kata Muzaeni, diketahui bahwa saat ini Garuda Indonesia memiliki utang mencapai Rp 70 triliun dari tahun sebelumnya yang hanya berkisar Rp 16 triliun-Rp 17 triliun.

Berbagai upaya pemasaran yang dilakukan perusahaan pelat merah itu untuk meningkatkan penumpang, ternyata belum membuahkan hasil. Sebab sebagai penyedia jasa penerbangan yang bergantung pada pergerakan orang, selama pandemi masih berlangsung akan terus terimbas.

"Jumlah penumpang hari ke hari semakin turun drastis, bahkan tak sampai 10 persen dari kapasitas pesawat," ujar dia.

Muzaeni menjelaskan, sebenarnya pergerakan penumpang sudah mulai membaik pada kisaran November-Desember 2020. Namun adanya kebijakan syarat penerbangan dengan hasil tes negatif Covid-19 pada akhir Desember tahun lalu, membuat jumlah penumpang turun drastis.

Ia bilang pada saat itu sekitar 16.000 penumpang melakukan pembatalan penerbangan, alhasil pendapatan Garuda Indonesia pun kembali turun. Kondisi penurunan penumpang ini terus berlanjut hingga Maret 2021.

Pada April 2021 pergerakan penumpang mulai kembali meningkat seiring berjalannya program vaksinasi oleh pemerintah. Selain itu, layanan tes Covid-19 sudah semakin banyak dan terjangkau, seperti adanya swab antigen ataupun GeNose C19.

"Harapan kita sangat baik waktu itu, tapi begitu 6-17 Mei 2021 ada larangan mudik, penerbangan kembali jadi sedikit sekali," ujar Muzaeni.

Meski memang penerbangan penumpang saat itu tetap dibuka, tapi sangat terbatas karena hanya digunakan oleh masyarakat untuk keperluan pekerjaan atau mendesak.

Pada masa larangan mudik, penerbangan Garuda Indonesia yang biasanya berkisar 120-150 penerbangan per hari menjadi rata-rata hanya sekitar 30 penerbangan per hari.

"Bahkan pada H-2 dan H+2 Lebaran, itu hanya ada sekitar 17 penerbangan per hari. Itu pun penumpangnya hanya setengah dari kapasitas 70 persen yang dipersyaratkan bagi penerbangan," jelasnya.

Oleh sebab itu kata Muzaeni, karyawan sangat memahami kondisi perusahaan yang berat akibat pandemi hingga akhirnya menawarkan program pensiun dini.

Menurutnya, nilai yang ditawarkan perusahaan juga sudah sesuai dengan ketentuan undang-undang.

"Kami menolak sih enggak, setuju banget juga enggak, tapi kami menilai dan menimbang bahwasanya inilah solusi yang baik, karena ada aturannya dan sifatnya sukarela," ungkap dia.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini