Laporan Wartawan Tribunnews.com, Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Perdagangan (Kemendag) diminta bersikap tegas kepada pelanggar kebijakan domestic market obligation (DMO) minyak kelapa sawit.
Anggota DPR Mulyanto mengatakan, pemerintah harus konsisten dan tegas dalam menerapkan kebijakan DMO CPO ini, jangan sampai mencla-mencle dan terkesan takut kepada taipan minyak sawit.
"Hari ini masih banyak laporan masyarakat, bahwa minyak goreng curah sulit ditemui di pasaran. Untuk itu pemerintah mengawasi rantai distribusi CPO dan minyak goreng ini untuk mengevaluasi efektivitas kebijakan DMO tersebut," kata Mulyanto, Senin (7/2/2022).
Baca juga: Mayoritas Retail Modern di Jabodetabek Kehabisan Stok Minyak Goreng
Menurutnya, pemerintah perlu membentuk tim pengawas yang bertugas mengawasi pelaksanaan DMO CPO, sekaligus menindak perusahaan CPO dan minyak goreng yang terbukti terlibat kartel.
Pemerintah, kata Mulyanto, jangan segan menindak siapapun yang terbukti mengacaukan sistem produksi dan distribusi minyak goreng, karena hal tersebut telah menyengsarakan masyarakat.
"Tim terdiri dari Kementerian terkait, Kepolisian dan Kejaksaan. Tim ini harus kuat karena berhadapan dengan kartel yang ditenggarai mempunyai jaringan luas," kata Mulyanto.
Berkaca dari pengalaman DMO batubara, kata Mulyanto, pemerintah perlu melakukan evaluasi bulanan dan penerapan denda fee kompensasi yang signifikan bagi pengusaha nakal.
Bahkan, bila perlu dijatuhkan sanksi tegas berupa pencabutan izin ekspor atau izin produksi.
"DMO ini kan sebentuk sharing the pain dari para pengusaha sawit yang selama ini menikmati untung dari CPO untuk pembangunan nasional termasuk ketahanan energi," ujarnya.
"Kebijakan ini diharapkan dapat menjaga kuota CPO untuk memenuhi kebutuhan pasar minyak goreng dan biofuel domestik secara bersama-sama, apalagi kita telah berkomitmen untuk terus mengembangkan biofuel dalam rangka menekan impor BBM, reduksi karbon dan mengurangi defisit transaksi berjalan," sambung Mulyanto.
Kementerian Perdagangan telah menetapkan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) bagi eksportir Crude Palm Oil (CPO).
Melalui aturan DMO yang dikeluarkan Kemendag, produsen yang melakukan ekspor CPO diwajibkan memasok 20 persen kuota ekspornya untuk kebutuhan dalam negeri.
Sementara aturan DPO menerapkan harga jual CPO di dalam negeri sebesar Rp 9.300 per kilogram dan Rp10.300 per liter untuk olein.
Anggota DPR: Mendag Jangan Buang Badan
Stok minyak goreng masih langka di pasaran meski pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) telah menetapkan harga eceran tertinggi (HET).
Terkait hal tersebut, Anggota Komisi VII DPR, Mukhtarudin menyoroti kinerja Menteri Perdagangan, M Lutfi.
Menurutnya jika alasan kelangkaan minyak goreng ini penyebabnya adalah soal kebijakan B30, seharusnya Mendag itu tahu bahwa B30 itu programnya presiden.
“Menteri perdagangan harus fokus kepada tugas dan kewenangannya. Jangan malah buang badan mengkritik kementerian lain. Kalau sudah buang badan begini jangan-jangan memang tanda-tanda inkompetensi,” kata Mukhtarudin, Senin (7/2/2022).
Seharusnya kata Mukhtar, Mendag tahu bahwa penggunaan CPO untuk program B30 ini hanya menggunakan sekitar 7,3 juta liter, dan untuk minyak goreng tersedia sekitar 32 juta liter.
"Ini tidak mengganggu produksi minyak goreng,” ujar Mukhtar.
Jadi lanjutnya, Menteri, apalagi Dirjen tidak etis curhat ke media apalagi mengkritik program presiden sebagai penyebab kelangkaan minyak goreng.
Apalagi dari 47 juta liter produksi CPO kita, hanya 7 juta liter yang dialokasikan untuk biodiesel B30.
Sementara itu Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia(GAPKI), Eddy Martono menampik bahwa penerapan program biodiesel mengganggu pasokan atau harga minyak goreng dalam negeri.
“Yang menyebabkan harga minyak goreng tinggi memang karena harga minyak nabati internasional sedang tinggi,” jelasnya.
Eddy juga membantah bahwa pengusaha lebih suka menyuplai ke biodiesel ketimbang minyak goreng, “Program B30 itu bersifat mandatori dan volume ditentukan pemerintah,” ujarnya.
Peneliti Senior LPEM FEB-UI, Mohamad Revindo juga menjelaskan bahwa permasalahan harga minyak goreng yang tak kunjung turun disebabkan karena ketidakmampuan Kementerian Perdaganganan melakukan distribusi dengan baik.
“Kementerian Perdagangan seharusnya menjalankan operasi distribusi secara menyeluruh di titik-titik yang teridentifikasi sangat kekurangan pasokan dengan pengawasan yang super ketat, tidak serta-merta menerima alasan para produsen dengan begitu saja,” kata Mohamad Revindo, peneliti senior LPEM FEB-UI.
Menurut Revindo, pemerintah juga tidak cukup hanya menunggu produsen dan distributor menjalankan kebijakan. Langkah keras ataupun tangan besi melalui pengawasan hingga penjatuhan sanksi harus dilakukan.
“Menko Perekonomian juga harus memberikan peringatan kepada Menteri Perdagangan atas kegagalan implementasi kebijakan dan berbagai perubahan tanpa kejelasan,” tutup Revindo.
Baca juga: Demer Desak Mendag Lutfi Bekerja Maksimal untuk Atasi Masalah Minyak Goreng
Sebelumnya, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menyalahkan program biodiesel (B30) sebagai penyebab kenaikan harga minyak goreng. Dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR minggu lalu, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan, lonjakan harga CPO saat ini tidak terlepas dari dampak kebijakan Indonesia, yang mendorong penggunaan biodiesel.
Dan diakui menjadi penyebab lonjakan harga CPO dan itu menguntungkan Indonesia. Dengan program B30, konsumsi CPO pun meningkat. Dan, akan semakin bertambah jika B40 dilaksanakan.
"Yang buat CPO ini tinggi adalah Republik Indonesia. Sebagai penghasil CPO terbesar dunia, bikin B30, harganya meloncat. Dan ini sangat menguntungkan Indonesia," kata Lutfi.
Hal senada juga dikemukakan oleh pengamat ekonomi Faisal Basri yang menilai kenaikan harga minyak goreng di tengah penurunan produksi dan ekspor CPO dikarenakan pergeseran besar dalam konsumsi CPO di dalam negeri. Di masa lalu, pengguna CPO yang dominan di dalam negeri adalah industri pangan, termasuk minyak goreng.
Namun sejak pemerintah menerapkan kebijakan mandatori biodiesel, alokasi CPO untuk campuran solar berangsur naik. Peningkatan tajam terjadi pada 2020 dan 2021 dengan diterapkannya Program B20 (20 persen kandungan CPO dalam biosolar).
Alasan Pemerintah Stok Minyak Goreng Murah Selalu Kosong
Lantaran di pasaran masyarakat justru kesulitan mendapatkan minyak goreng. Berbanding terbalik saat minyak goreng masih dijual dengan harga tinggi.
"Pada kemasan sederhana alasannya disampaikan karena infrastruktur kemasan belum siap. Kalau belum siap, kita ambil langkah lagi, kita bikin satu harga. Enggak ada alasan lagi semua harus Rp14.000 per liter. Kenyataannya tidak optimal juga," kata Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Oke Nurwan dikutip dari Kompas TV, Jumat (4/2/2022).
Oke juga mengaku sudah berkoordinasi untuk memeriksa apakah ada kebocoran ekspor, untuk mengecek ke mana perginya pasokan minyak goreng. Ia juga tak menyangkal melonjaknya harga minyak goreng di dalam negeri, disebabkan sejumlah kesalahan.
Salah satunya, pemerintah menganggap kenaikan harga minyak sawit mentah atau CPO sebagai sebuah berkah. Kemudian, harga minyak goreng naik juga karena pasokan CPO yang berkurang.
Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi memastikan harga minyak goreng akan mengikuti HET yang sudah ditetapkan pemerintah pada pekan depan.
Hal ini dia pastikan lantaran para pedagang tengah melakukan proses blending atau mencampur minyak harga yang mahal sebelumnya dengan minyak yang dibeli dengan harga murah.
Mendag juga menjamin ketersedian minyak goreng aman dan suplai terjaga dengan baik. Perlu diketahui juga Kementerian Perdagangan telah memberlakukan aturan HET bagi komoditas minyak goreng curah hingga kemasan.
Aturan yang sudah berlaku sejak 1 Februari 2022 tersebut menetapkan HET minyak goreng curah Rp 11.500 per liter, minyak goreng kemasan sederhana Rp 13.500 per liter, dan minyak goreng kemasan premium Rp 14.000 per liter.