"Namun melalui inisiatif yang dilakukan Kementerian ESDM, jumlah proyek smelter yang mandek kini telah berkurang dari semula 57 smelter menjadi 12 smelter yang terdiri dari 8 smelter nikel, 3 smelter bauksit dan 1 smelter mangan," jelasnya.
Sementara itu, Direktur Utama PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) Darmawan Junaidi mengatakan, pihaknya bangga dapat mendukung pembiayaan pembangunan Line I smelter Nikel Laterit Rectangular Rotary Kiln-Electric Furnace (RKEF) milik PT Ceria Metalindo Prima ini.
Pasalnya, kerjasama ini sangat spesial karena menjadi tonggak sejarah bukan hanya bagi Ceria Nugraha Indotama (CNI Group) namun juga bagi Bank Mandiri.
Menurut Darmawan, kesepakatan pembiayan tersebut menjadi bukti komitmen Bank Mandiri dalam mendukung Proyek Strategis Nasional (PSN).
CNI Group dan Bank Mandiri merancang skema pembiayaan secara project finance, yang juga merupakan project pembiayaan dimana Bank Mandiri menjadi Structuring dan Coordinating Bank.
Baca juga: Jaga Ekosistem di Area Tambang Nikel BUMN Tambang Ini Jadi Orang Tua Asuh Burung Junai Emas
"Kita patut berbangga, saat ini Indonesia menjadi negara penghasil nikel terbesar di dunia. Karena itu, kami mengapresiasi atas kerjasama bank bindikasi dengan pihak Ceria Metalindo Prima dan semoga ini berjalan baik dan dapat menjadi katalis pertumbuhan ekonomi, memberikan nilai tambah bagi industri di dalam negeri, serta membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat," imbuhnya.
Sementara itu, Presiden Direktur Utama CNI Group Derian Sakmiwata menyampaikan apresiasinya atas kepercayaan ketiga bank tersebut untuk mendanai proyek smelter CMP.
Menurut Derian, dukungan pendanaan ini menjadi sejarah bagi Indonesia, dimana CNI Group yang merupakan Perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) untuk pertama kalinya mendapat dukungan pendanaan dari perbankan milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
"Ini tentu menjadi milestone bagi CNI Group. Ini pertama kali dalam pembiayaan smelter di Indonesia melalui skema transaksi Project Finance bank nasional. Ini membuktikan bahwa industri anak bangsa bisa bangkit dengan dukungan pendanaan dari BUMN dan BUMD," ungkap Derian.
Dengan dukungan pembiayaan sindikasi senilai USD 277,6 juta ini kata Derian, memberikan kepastian pencapaian target operasi tahap pertama smelter Bijih Nikel Laterit Rectangular Rotary Kiln-Electric Furnace (RKEF) CMP dengan kapasitas 63,000 ton Ferronickel dengan kandungan nikel 22% atau setara dengan 13,900 ton Nickel per tahun dengan total nilai proyek Line I senilai USD 347 juta.
Dalam mengembangkan smelter nikel, saat ini CNI Group menggunakan 2 teknologi, yaitu teknologi Rectangular Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) dengan kapasitas 4x72 MVA, terdiri dari 4 Iajur produksi untuk mengolah bijih Nikel Saprolite dan teknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL) untuk mengolah bijih Nikel Limonite (Bijih Nikel kadar lebih rendah).
Rencana ini belum termasuk peluang pengembangan ke depan, mengingat CNI Group memiliki potensi deposit Nickel Laterite lebih dari 500 juta ton berdasarkan survey Geofisika dengan teknologi Geo-Penetrating Radar (GPR).
"Total nilai investasi smelter keseluruhan diperkirakan mencapai USD 2,312 juta yang akan dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu, 3 tahap pengembangan smelter Laterit Rectangular RKEF terdiri dari Tahap 1 (1x72 MVA) senilai USD 347 Juta, Tahap 2 (1x72MVA) senilai USD 250 juta, Tahap 3 (2x72 MVA) senilai USD 515 juta, dan Pembangunan Pabrik HPAL senilai USD 1,200 juta," jelasnya.
Derian mengungkapkan, WIUP CNI Group di blok Lapao-pao, dimana Smelter CNI Group berdiri merupakan lokasi strategis pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian bijih Nikel.