Jony Oktavian Haryanto, Guru Besar Bidang Manajemen dari President University, mengatakan dampak perang Rusia-Ukraina mendorong banyak negara di dunia menggelontorkan dana dalam jumlah besar kepada rakyatnya dalam bentuk subsidi untuk menggerakkan perekonomian sehingga memicu inflasi.
IMF dan Bank Dunia menyatakan apabila inflasi ini tidak terkontrol akan mengakibatkan krisis berkelanjutan.
Menurut Jony, saat harga minyak sudah menembus level US$ 100 per barel, kondisi ini direspons dengan kenaikan harga BBM.
Di Indonesia, harga BBM dan LPG nonsubsidi sudah dinaikkan. Apabila ada kenaikan lagi harga BBM, secara politis sangat tidak populer karena kondisi masyarakat yang sedang susah.
“Makanya, terobosan yang dilakukan pemerintah mau tidak mau harus memberikan subsidi. Imbasnya angka subsidi membengkak seperti yang disampaikan Menteri Keuangan kemarin,” kata Jony.
Menurut dia, penambahan subsidi BBM sejatinya diikuti oleh kebijakan untuk mengelola kuota solar dan pertalite. Apalagi pemerintah telah mengusulkan penambahan kuota solar menjadi 17,39 juta kiloliter (KL) dari 15 juta KL dan pertalite 28,5 juta KL dari proyeksi 23 juta KL.
“Kembali ke masyarakat, mau pakai barang subsidi atau tidak. Ini karena pemerintah tidak punya tools mengontrol subsidi tersebut digunakan oleh yang berhak atau pihak lain. Tapi apakah masyarakat kita sudah cukup dewasa menyikapi subsidi,” katanya.
Yayan Satyakti, Peneliti Center for Econmics and Developnebt Studieds (CEDS) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran, mengatakan kebijakan fiskal yang diambil pemerintah dengan menambah subsidi BBM dinilai tepat.
Langkah tersebut merupakan affirmative action dari sisi input faktor produksi untuk sektor transportasi dan biaya logistik demi menjaga stabilisasi inflasi secara domestik.
“Artinya pemerintah yang didukung Pertamina melakukan intervensi fiskal demi mengurangi dampak rantai logistik yang disebabkan kenaikan BBM terutama untuk masyarakat yang rentan terhadap kenaikan harga dan rentan masuk dalam jurang kemiskinan,” kata dia.
Saat ini, kata dia, di Indonesia terjadi peningkatan jumlah kemiskinan eksrem akibat pandemi yang harus segera menjadi 0 persen pada tahun 2024. Jika tidak ada kebijakan fiskal untuk menahan kenaikan harga BBM akan merugikan stabilitas pemulihan ekonomi Indonesia ke depan.
“Saya kira benefit pemulihan ekonomi akan lebih besar dibandingkan dengan cost dari subsidi solar dan pertalite. Walaupun dalam jangka pendek kebijakan instan ini tidak begitu mendidik dalam kondisi normal karena tidak akan mengembangkan energi alternatif,” katanya.
Tapi jika dibandingkan dengan negara lainnya seperti AS atau Uni Eropa, subsidi energi ini tetap dilakukan untuk menjaga stabilitas konsumsi masyarakat selama krisis yang diakibatkan pandemi terutama untuk energi listrik.
Di sisi lain, Yayan menilai, pemerintah harus mereformasi kebijakan subsidi energi. Efektivitas subsidi energi dinilai sangat kecil dan tidak mengedukasi secara baik terhadap penggunaan energi. Dia berharap pemerintah agar tegas bahwa masyarakat perkotaan yang memiliki pendapatan lebih tinggi dan mampu untuk membeli pertamax.