Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat Transportasi Darmaningtyas mengatakan keputusan Menteri Perhubungan mengenai penyesuaian tarif ojek online (Ojol) yang diperkirakan mencapai 30 persen bisa kontraproduktif.
Menurutnya, kenaikan tarif seharusnya tidak melebihi inflasi sehingga tidak memberatkan konsumen.
"Jangan sampai kenaikan tarif ini justru akan membuat orderan menurun, karena tarif baru hampir sama dengan tarif taxi," kata pria yang juga Ketua Institut Studi Transportasi (Instran) ini dalam keterangannya, Sabtu (20/8/2022).
Baca juga: Wacana Kenaikan Tarif Ojol Akan Makin Sulitkan Driver Dapatkan Penumpang
Darmaningtyas berujar, bahwa saat ini sejumlah usaha makanan minuman sedang berjuang setelah pandemi.
Banyak mereka berjualan melalui aplikasi, jika tarif naik tinggi melewati angka inflasi tentu saja akan memberatkan.
Orderan mereka yang berjualan di platform makin sepi. dampak buruk lain kenaikan tarif juga akan menambah inflasi.
"Kenaikan terlalu tinggi akan mengurangi permintaan penggunaan Ojol dari konsumen yang berpindah ke moda transportasi lain. Kenaikan tarif ini bisa membuat penjualan makanan melalui aplikasi turun, terutama membuat pelaku UMKM terdampak dan kesulitan berusaha," ucap Darmaningtyas.
Dia menambahkan pemerintah perlu mempertimbangkan mengenai kondisi daya beli masyarakat yang saat ini belum pulih sepenuhnya akibat pandemi.
Apalagi, daya beli tertekan seiring dengan kenaikan harga-harga.
Baca juga: Analis Bilang Kenaikan Tarif Ojol Untungkan Emiten Transportasi
"Ini bisa berdampak langsung kepada menurunnya daya beli masyarakat, karena kalau kita lihat sekarang ini daya beli justru menurun yah. Jadi saya rasa pemerintah perlu mempertimbangkan kebijakan kenaikan tarif ojek online ini dengan matang, karena satu sama lain berkesinambungan," tegas Darmaningtyas.
Lebih lanjut, pihaknya mengingatkan pemerintah agar memperbaiki hubungan industrial antara pengemudi dan aplikator sehingga sama-sama saling menguntungkan.
"Jangan sampai konsumen sudah bayar mahal, tapi mitra (pengemudi) tetap tidak sejahtera jika tarif terlalu murah, yang senang hanya penumpang. Tetapi jika terlalu mahal, penumpang tidak senang dan hanya pengemudi serta pemilik aplikasi yang diuntungkan. Harus ada jalan tengah," tuturnya.
Untuk menjembatani, agar tidak terjadi penurunan permintaan, maka pemerintah seharusnya mempertimbangkan lagi tingginya kenaikan tarif.
Bisa juga skemanya disesuaikan, seperti batas jasa minimal dihitung pada 4 kilometer pertama dibandingkan 5 kilometer pertama untuk mengurangi dampak kenaikan tarif.
Analis kebijakan transportasi dan Ketua Forum Warga Kota Jakarta (Fakta) Azas Tigor Nainggolan melihat, keputusan Kemenhub itu sebetulnya tidak menguntungkan Ojol karena kenaikan tarif itu begitu besar.
Baca juga: Kenaikan Tarif Ojol Bisa Dongkrak Inflasi Hingga 5,7 Persen
Menurutnya, peraturan Kemenhub yang baru ini agar ditinjau ulang.
Di sisi lain, kenaikan signifikan ini pada akhirnya akan menurunkan pendapatan pengemudi seiring penurunan permintaan, bahkan diprediksi penurunan bisa mencapai 25 persen.
"Kan dilihat dari kenaikan, per kilo itu naiknya Rp1000 rupiah ya, kalau begini akan terjadi penurunan permintaan dari masyarakat, tidak menguntungkan ojek online," kata dia.