TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Petani peserta program food estate mengaku merasakan manfaat setelah bergabung.
Selain produktivitas usaha tani naik, pendapatan mereka juga meningkat. Namun, diakui juga ada sejumlah kendala yang memerlukan perbaikan.
Ketua Kelompok Tani Sumber Rejeki Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, Hartoyo mengaku produktivitas padi meningkat setelah bergabung dengan program food estate.
Ada 64 petani dengan luas lahan 100 hektar yang tergabung di kelompok Sumber Rezeki. Mereka bergabung sejak food estate dimulai pertengahan tahun 2020.
"Kalau sebelum (ada food estate) kan paling (produksi) sekitar 3 ton gabah per hektar. Sekarang berhubung ada bantuan pupuk dan benih, alhamdulillah (produksi) naik sekitar 1 sampai 1,5 ton per hektar. Harga jual gabah pun naik karena kemudahan akses jalan." kata Hartoyo saat acara Webinar Alinea Forum bertajuk "Dua Tahun Food Estate: Apa Saja Pencapaiannya?", Rabu(24/8/2022).
Baca juga: Presiden Jokowi Akan Luncurkan Food Estate di Gresik
Dijelaskan Hartoyo, dahulu harga gabah kering panen sekitar Rp4.700 per kg. Saat ini mencapai Rp5.000 per kg, bahkan bisa Rp5.700 per kg.
Ini antara lain karena jalan menuju ke wilayah lumbung pangan ini sudah dibangun dan beraspal memudahkan petani mengangkut dan menjual.
"Untuk penjualan hasil (panen), itu lebih mudah. Dulu kami kalau menjual pakai kapal. Sekarang, alhamdulillah jalan sudah aspal.
Ini lebih memudahkan kami untuk mengeluarkan hasil panen," ujar Hartoyo.
Selama bergabung food estate, kata Hartoyo, pihaknya memperoleh sejumlah bantuan dari Kementerian Pertanian(Kementan).
Mulai alat dan mesin pertanian (alsintan), bantuan benih dan pupuk hingga perbaikan infrastruktur yang menunjang penjualan hasil panen.
Karena produktivitas dan harga jual naik, kata Hartoyo, keuntungan petani pun naik. Dengan produktivitas 4 ton gabah kering panen per hektar, petani bisa mengantongi keuntungan sekitar Rp 8 juta.
Setahun, petani tanam padi dua kali. Selain padi, petani juga menanam sayuran dan berternak ayam atau itik. Ini menambah penghasilan bulanan.
Cerita hampir sama disampaikan Saiful Rokib, Ketua Kelompok Tani di Desa Sidomulyo, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah.
Baca juga: Guru Besar IPB Ini Optimis Program Food Estate Cegah Krisis Pangan Bisa Terwujud
Saiful bergabung dengan food estate sejak tahun 2021. Dari 38 orang anggota kelompok tani, 35 orang petani menanam komoditas bawang putih di lahan seluas total 16 hektare.
Wilayah ini memang dikembangkan food estate hortikultura yang dikomandani oleh Direktorat Jenderal Hortikultura, Kementan.
Selain bawang putih, juga ada bawang merah, kentang, dan cabai. Saiful mengakui, bawang putih bukan komoditas asing bagi warga desanya.
Pada masa-masa jayanya, Sidomulyo adalah salah satu sentra bawang putih. Produktivitas, diakui Saiful, tinggi.
Tapi karena waktu tanam tidak diatur dan tidak ada pembeli pasti, harga seringkali meluncur bebas alias jatuh.
"Penyerapannya dan pasarnya belum jelas," kata Saiful.
Sejak tahun 1990-an, petani di Sidomulyo dan sekitarnya ogah menanam bawang putih. Mereka beralih menanam sayuran, seperti kol, cabai atau bawang merah.
Baca juga: Antisipasi Krisis Pangan, Sekolah Khusus Food Estate Disarankan Segera Dibentuk
Petani mau kembali menanam bawang putih karena Kementan sudah menyiapkan pembeli siaga atau off taker sebagai mitra petani.
Harga, kata Saiful, sudah disepakati sebelum tanam dengan pembeli siaga. Bahkan, ketika harga di pasar membaik, harga kesepakatan bisa naik. Petani juga mendapatkan mendapatkan bantuan bibit, mulsa plastik, dan pupuk.
"Ini memudahkan, kami bergairah lagi menanam bawang putih," jelas Saiful.
Saiful mengaku, petani juga mendapatkan manfaat berupa aneka ragam akses informasi terkait pertanian.
Selain informasi budidaya, kata Saiful, kelompok tani juga mendapatkan informasi terkait teknologi pertanian mutakhir, pemasaran hasil, hingga akses permodalan. Petani yang tidak tergabung dalam food estate pun jadi terberdayakan.
"Di food estate ini banyak sekali pendidikan-pendidikan pertanian. Termasuk informasi permodalan dari KUR (Kredit Usaha Rakyat) yang bagus.
Ada juga beberapa pelatihan-pelatihan yang semakin gencar. Jadi, di wilayah (kelompok tani) lain kena juga (mendapatkan) imbas dari food estate, semuanya baik," ungkapnya.
Namun demikian, jelas Saiful, mereka terkendala akses jalan. Jalan desa, jelas dia, masih belum beraspal atau diperkeras.
Jika pagi atau turun hujan, jalanan licin dan membuat motor pengangkut hasil pertanian tergelincir. Maklum, Desa Sidomulyo berada di lereng pegunungan.
"Sekarang ini tidak ada petani yang memanggul hasil pertanian, tapi pakai sepeda motor. Ini jalannya licin. Kalau bisa, jalannya dibangun.
Ini sangat membantu akses kami, sehingga tidak licin kalau bawa pupuk, karena kami kan di pegunungan, jalannya turun-naik," ujar Saiful.
Keluhan senada disampaikan Hartoyo. Kelompok dia mengalami kendala akses air. Ini terjadi karena aliran air dari saluran primer ke saluran sekunder terhambat.
"Saluran sudah dangkal. Ini menyulitkan akses air," kata dia. Dia berharap, akses air ini bisa diperbaiki.(Willy Widianto)