"Indonesia yang mayoritas didominasi perusahaan-perusahaan dan kegiatan sektor informal tentu merasakan imbasnya," sambung Menkeu.
Baca juga: Ancaman Resesi Dunia Tahun 2023, Ini Langkah untuk Mengantisipasinya
Beda halnya dengan krisis yang terjadi pada 1997-1998 dan 2007-2008 di mana pada periode itu menyerang neraca lembaga keuangan, perusahaan asuransi, hingga korporasi besar.
Neraca keuangan mereka terganggu karena nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat anjlok sehingga menyebabkan masalah pada sisi liability atau pinjaman.
Namun demikian, Sri Mulyani mengatakan ada cara yang sama yang dilakukan emerintah untuk menyelesaikan persoalan seperti memberikan relaksasi kredit.
"Karena kita menganggap para peminjam dari lemabaga keuangan terutama bank pasti menghadapi situasi sangat sulit saat pandemi di mana aktivitas sangat dibatasi atau bahkan berhenti," kata dia.
Pemerintah, lanjut Srimul, juga menggunakan anggaran sebagai instrumen fiskal untuk memberi bantalan ekonomi dan sosial ke masyarakat serta usaha kecil dan menengah.
Misalnya menggelontorkan bantuan sosial terhadap 10 juta program keluarga harapan (PKH). Lalu, memberikan bantuan 18,8 juta sembako; bantuan terhadap UMKM hingga bantuan subsidi upah untuk karyawan yang gajinya di bawah Rp 5 juta sebulan.
Baca juga: Presiden Jokowi: Jangan Sampai Dana APBN dan APBD Dibelikan Produk Impor
"Kita memahami bahwa masyarakat yang hidupnya tergantung cashflow harian sangat terpukul dengan pandemi scarring effect-nya dalam dan luas," imbuh Sri Mulyani.
Indonesia masih lebih mending karena tidak melakukan lockdown seperti RRT (Cina) sebab dampaknya akan jauh lebih luas. (Tribun Network/Reynas Abdila)