TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani menilai pasal pidana perzinaan bagi pasangan belum menikah seharusnya masuk dalam perilaku moral.
Hariyadi Sukamdani memandang persoalan check-in di hotel seharusnya sudah ranah privat dan tidak diatur dalam negara apalagi dianggap sebagai perbuatan pidana.
"Kami sudah menerima masukan dan itu menjadi kontra produktif di sektor pariwisata karena begitu orang satu kamar berdua tanpa ikatan perkawinan itu akan kena kriminal," tuturnya dikonfirmasi, Senin (24/10/2022).
Baca juga: PHRI Minta Pasangan Belum Nikah Check In di Hotel Tak Masuk Ranah Pidana: Ganggu Industri Pariwisata
Dia menegaskan secara asas teritorial akan membuat orang asing juga bisa terkena dampak pasal pidana perzinaan ini.
Menurutnya, turis asing yang tidak terikat dalam satu pernikahan juga dapat turut dijerat dengan aturan pidana yang sama seperti WNI.
"Ini implikasinya wisatawan asing yang akan besar kemungkinan beralih ke negara lain serta berpotensi menurunkan kunjungan wisatawan ke Indonesia," tutur Hariyadi.
Senada, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran menilai Rancangan Undang Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terkait pasal perzinaan akan lebih elok tidak masuk dalam ranah pidana.
Maulana menegaskan apabila pasal perzinaan menjadi ranah pidana bakal berdampak sangat serius ke daya tarik wisatawan mancanegara.
Baca juga: Soal Aturan Check In di Hotel Dipenjara, Pengusaha Hotel Meradang
"Kita berharap masalah pasal ini masuk ranah privat, masalah moral, bukan pidana karena kita lihat semua negara punya aturan beda-beda yang akan berdampak ke industri pariwisata," ucapnya.
Yusran menambahkan, bahwa masalah terkait perzinaan sebenarnya juga telah diatur oleh pemerintah daerah masing-masing.
"Kita sekarang gini, masalah perzinahan masing-masing daerah sudah punya aturan main sendiri. Tidak usah ranah pidana, misal pemda melalui Satpol PP dan seterusnya," ujarnya.
Pasal tersebut lanjut Yusran dinilainya bakal berdampak terhadap pemulihan ekonomi di sektor pariwisata khususnya perhotelan yang sebenarnya saat ini sudah mulai membaik.
Ia mengatakan, tingkat keterisian atau okupansi hotel saat ini sudah lebih baik dibanding 2020 dan 2021, di mana ada pembatasan mobilitas akibat pandemi Covid-19.
"Okupansi hotel 2021 ada peningkatan karena pada 2020 dan 2021 kondisinya PPKM. Kalau tahun 2022, sudah tidak ada pembatasan, termasuk cost of traveling contohnya test Covid-19," ujarnya.
Dia menambahkan, jangan sampai ada peraturan yang menghambat pemulihan bisnis di sektor pariwisata seperti wacana check in tidak menikah bisa kena pidana.
"Kita harap jangan ada tantangan-tantangan lagi seperti RKUHP, walaupun delik aduan tidak perlu masuk ranah pidana. Sementara, kalau hotel syariah dikembangkan silahkan, tapi tidak seluruh Indonesia karena Indonesia beragam, jangan semua disyariahkan," pungkasnya.
Baca juga: PHRI Minta Pasangan Belum Nikah Check In di Hotel Tak Masuk Ranah Pidana: Ganggu Industri Pariwisata
Pindah ke Apartemen
Wakil Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Sudrajat mengatakan, rancangan aturan tersebut harus lebih jelas dan tidak merugikan pengusaha.
Sudrajat menyebut apabila yang dipermasalahkan check in di hotel, pengusaha kemungkinan akan melirik segmen lain misalnya apartemen.
"Sebetulnya pelaku industri perhotelan itu akan berdampak meskipun positif, hanya memang akan timbul masalah karena orang harus bawa surat nikah, tapi selama sesuai agama apapun positif," katanya.
Menurutnya, secara bisnis peraturan terkait perzinahan ini merugikan para pelaku bisnis perhotelan saja.
"Ini yang jadi masalah tindak pidananya, pelaku hotel ikut tanggung jawab sampai sejauh mana? Kalau begitu yang di kos-kosan, villa-villa bagaimana? Kalau menyasar hanya ke hotel, hotel menjadi restricted area, artinya merepotkan," pungkasnya.
Baca juga: Pasangan Check In Hotel Belum Nikah Dipidana, GIPI: Harus Jelas, Nanti Orang Enggan Bisnis Hotel
Pengusaha Hotel di kawasan Kuta Bali yang tidak mau disebutkan namanya memandang aturan perzinahan baik apabila dilihat dari sisi spiritual. Namun ia mempertanyakan bagaimana fungsi pengawasan di lapangan karena sangat banyak hotel-hotel transit yang digunakan untuk perzinaan.
"Kalau aturan ini menyasar ke hotel-hotel melati sudah tepat dan menjadi tempat bisnis prostitusi tetapi kalau untuk hotel berbintang katakanlah hotel bintang tiga ke atas mereka pure bisnis dan membuka banyak lapangan kerja di sana," tegasnya.
Dirinya khawatir akan banyak hotel yang gulung tikar akibat pasal pidana perzinaan di hotel tersebut disahkan. (Tribun Network/nas/yat)