News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Badai PHK

Asuransi Jasindo Lakukan PHK, IFG: Terpenting Prosesnya Sesuai Koridor Hukum

Editor: Seno Tri Sulistiyono
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Logo Asuransi Jasindo. Holding Indonesia Financial Group (IFG) bersuara soal PT Asuransi Jasa Indonesia (Jasindo) yang akan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) sejumlah karyawanya. Komisaris Utama IFG Fauzi Ichsan menyebut aksi PHK tersebut merupakan hal yang lazim dilakukan perusahaan yang sedang melakukan program penyehatan keuangan.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Holding Indonesia Financial Group (IFG) bersuara soal PT Asuransi Jasa Indonesia (Jasindo) yang akan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) sejumlah karyawanya.

Komisaris Utama IFG Fauzi Ichsan menyebut aksi PHK tersebut merupakan hal yang lazim dilakukan perusahaan yang sedang melakukan program penyehatan keuangan.

Ia menyebut hal ini adalah upaya rightsizing bisnis yang artinya merupakan aksi efisiensi.

“Yang penting prosesnya sesuai dengan koridor hukum yang berlaku,” ujar Fauzi dikutip dari Kontan, Kamis (10/11/2022).

Baca juga: Perusahaan Sektor Keuangan Global Mulai Lakukan PHK Imbas Meredupnya Ekonomi Dunia, Ini Daftarnya

Menurutnya, upaya rightsizing ini memang saat ini tidak bisa dihindari lagi.

Ditambah, PHK kini juga tidak hanya terjadi di Jasindo saja melainkan perusahaan global pun melakukannya.

Memang, jika melihat dari kinerja keuangannya, Jasindo sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja.

Mengingat, rasio pencapaian solvabilitas (RBC) masih di bawah ketentuan yang ditetapkan OJK yaitu 120 persen.

Per September 2022, RBC yang dicatat oleh Jasindo berada di level -10,05 persen. Capaian ini membaik dibandingkan periode sama tahun lalu yang berada pada level 74 persen.

Meskipun demikian, pada periode yang sama, Jasindo masih mencatatkan penurunan terkait laba usaha asuransi.

Dimana, pada periode yang berakhir di 30 September 2022 tercatat Rp 6,5 miliar dibandingkan periode sama di 2021 yang tercatat Rp 44,1 miliar.

Ribuan Pekerja di PHK

Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mencatat jumlah pekerja terkena PHK dalam sembilan bulan pada tahun ini, atau hingga September 2022 mencapai 10.765 orang.

Namun, angka tersebut dinilai Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah lebih rendah dibanding tahun sebelumnya, terutama awal pandemi Covid-19.

"Kalau kita lihat kasus pemutusan hubungan kerja 2019 sampai dengan September 2022, PHK cukup tinggi terjadi pada tahun 2020 ketika kita mengalami pandemi Covid-19. Ini data per September yang diinput sejumlah 10.765 (kasus PHK)," ucap Ida dalam Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi IX DPR RI, Selasa (8/11/2022).

Baca juga: Sejumlah Perusahaan Teknologi Dunia Lakukan PHK Massal, Mulai dari Twitter hingga yang Terbaru Meta

Ia menjelaskan, jumlah PHK pada 2019 sebanyak 18.911 kasus dan melonjak menjadi 386.877 kasus pada 2020. Lalu, menurun menjadi 127.085 kasus PHK pada 2021.

Angkanya kembali turun menjadi 10.765 kasus per September 2022.

Minta Aturan No Work No Pay

Pengusaha meminta Kemenaker membuat peraturan terkait jam kerja yang fleksibel, sebagai upaya mencegah adanya pemutusan hubungan kerja (PHK).

Hal tersebut dinilai pengusaha sangat perlu dilakukan agar perusahaan dapat menerapkan "no work no pay" (tidak bekerja tidak dibayar).

Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Anne Patricia Sutanto mengatakan, dengan aturan no work no pay, maka perusahaan bisa memberlakukan jam kerja minimal 30 jam seminggu.

"Saat ini undang-undang kita menyatakan 40 jam seminggu. Untuk mengurangi jumlah PHK agar fleksibilitas itu ada, dengan asas no work no pay, pada saat tidak bekerja," kata Anne di Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi IX DPR RI, dan Kemnaker Selasa (8/11/2022).

Hal senada juga disampaikan oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo).

Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo Anton J Supit mengungkapkan, pemerintah bisa mempertimbangkan aturan yang menerapkan prinsip no work no pay.

Menurut dia, jika hal itu tidak diterapkan maka penurunan permintaan tidak mengimbangi biaya operasional perusahaan, termasuk pembayaran upah tenaga kerja.

"Kalau tidak ada (aturan itu) jika order kita turun 30-50 persen, untuk 1-2 bulan bisa ditahan, tapi kalau sudah beberapa bulan, bahkan sampai setahun, saya kira pilihannya memang harus PHK," ujar Anton.

Wakil Komisi IX DPR RI Nihayatul Wafiroh mengatakan, untuk aturan terkait no work no pay, merupakan ranah Kemnaker.

Baca juga: Giliran Citigroup dan Barclays PHK Ratusan Karyawan

Ia juga mengimbau agar pengusaha bisa berkomunikasi langsung dengan Kemnaker terkait usulan tersebut.

"(Usulan pengusaha) bukan domain-nya DPR. Tapi, nanti bisa dikomunikasikan, dan hasilnya tergantung dari komunikasi (Kemnaker-Pengusaha)," ujar Nihayatul.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini