News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Belasan Ribu Orang Teken Petisi Tuntutan WFH Lagi, Kerja Ngantor Bikin Jalan Macet

Penulis: Rina Ayu Panca Rini
Editor: Choirul Arifin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Suasana macet di jam-jam sibuk di jalan tol dalam kota di kawasan Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Rabu (5/8/2015). Puluhan ribu orang menandatangani petisi menuntut pemberlakukan aturan bekerja dari rumah atau WFH karena alasan m memicu kemacetan lalu lintas jika mereka harus bekerja ngantor lagi.

WFH Bisa Siasati Harga BBM yang Mahal

Sebelumnya, Ekonom INDEF Berly Martawardaya mengusulkan agar karyawan membiasakan lagi bekerja dari rumah atau work from home alias WFH dua kali dalam seminggu untuk menekan ongkos transportasi untuk pembelian BBM.

"Pemerintah bisa menjadikan realokasi subsidi BBM sebagai bagian kebijakan sistematis menuju ekonomi hijau dengan meningkatkan insentif untuk energi terbarukan, perbaikan transportasi publik di wilayah urban," ujar Berly Martawardaya dalam pernyataan tertulisnya, Selasa (6/9/2022).

"Perlu ditetapkan kerja dan kuliah dari rumah setidaknya 40 persen atau dua hari seminggu untuk mengurangi penggunaan BBM dan emisi karbon dalam jangka menengah," kata Berly Martawardaya.

Warga mengisi bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax di SPBU Jalan MT Haryono, Cawang, Jakarta Timur, Selasa (3/1/2023). Melanjutkan kebijakan bekerja dari rumah atau WFH diyakini bisa membantu para pekerja menyiasati mahalnya harga BBM saat ini.  WARTA KOTA/HENRY LOPULALAN (WARTA KOTA/HENRY LOPULALAN)

Berly Martawardaya menilai pemanfaatan BBM bersubsidi selama ini tidak sesuai prinsip keadailan.

Kebijakan pemerintah mensubsidi harga BBM untuk membantu masyarakat tidak mampu. Namun fakta di lapangan tidak demikian.

"Konsumsi BBM didominasi oleh masyarakat mampu, di mana 80 persen pertalite dan 95 persen solar dikonsumsi oleh kelompok masyarakat mampu sehinga tidak sesuai dengan prinsip distribusi dan keadilan," kata Berly.

Menurut dia, ada beberapa faktor yang menyebabkan pemerintah harus membuat penyesuaian harga BBM.

Pemulihan ekonomi setelah Covid-19 reda dan invasi Rusia ke Ukraina mendorong kenaikan harga minyak dunia sehingga melebihi USD100 per barel sejak Mei 2022. 

Kompensasi yang dianggarkan di APBN 2022 sebesar Rp18,5 triliun tidak cukup untuk menjaga harga solar dan pertalite. Melalui Perpres 98/2022, alokasinya pun ditambah menjadi Rp252,4 triliun.

Namun ternyata masih tidak mencukupi sehingga diperkirakan perlu tambahan anggaran untuk subsidi BBM sebesar Rp195,6 T sampai akhir tahun 2022.

"Anggaran kompensasi BBM sebesar Rp448,1 triliun mendekati 15 persen dari APBN 2022 alias melebihi semua katagori belanja lain kecuali pendidikan," ujarnya.

Padahal dari tiga fungsi APBN yaitu stabilisasi, distribusi dan alokasi.

"Maka tidak tepat bila fungsi stabilitasi, dalam konteks ini harga solar dan pertalite ketika harga minyak global meroket, mengalahkan dua fungsi lainnya," ujar Berly.

Halaman
123
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini