Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis(FEB) Universitas Indonesia ini menyatakan bahwa ekonomi adalah ilmu memilih dari banyak opsi yang tidak sempurna dan ada dampak negatifnya.
Tantangan bagi pemerintah dan policy maker adalah mencari dan mengambil opsi yang paling sedikit dampak negatif (least worse).
"Dengan pertumbuhan kuartal II-2022 menembus 5,4 persen dan terjadi deflasi 0,2 persen di bulan Agustus, saat ini opsi kebijakan yang least worse adalah realokasi subsidi BBM dengan meningkatkan alokasi perlindungan sosial dan kebijakan mitigasi dampak," katanya.
Berly mengatakan, bantuan sosial selama pandemi yang masih jauh dari sempurna menurut kajian BPS perlu diperbaiki di penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT) BBM 2022.
Data masyarakat miskin dan rentan terakhir diperbarui dengan sensus terbatas nasional tahun 2015.
Sambil pemerintah menyalurkan BLT BBM tahap pertama, perlu evaluasi akurasi dan kecukupannya untuk diumumkan ke publik dan diperbaiki di tahap kedua.
"BLT adalah pelampung bagi warga yang miskin dan rentan dalam kapal ekonomi Indonesia yang sedang menghadapi badai sehingga tetap mengapung dan tidak terbenam sehingga perlu tepat sasaran," ujar Berly.
Berly juga menambahkan bahwa realokasi subsidi BBM secara historis akan meningkatkan inflasi khususnya di sembako dan makanan.
Kenaikan harga transportasi publik perlu dihitung juga secara seksama supaya tidak terlalu tinggi dan melebihi kenaikan biaya operasi terlalu tinggi.
Formula kenaikan Upah minimum Regional (UMP) di PP No 36/2021 juga perlu direvisi sehingga setidaknya setara dengan inflasi untuk melindungi daya beli pekerja.
"Nelayan yang dalam proses mencari ikan menggunakan solar, perlu perlindungan dan bantuan khusus sehingga tidak kehilangan mata pencariannya," katanya.(Willy Widianto)