Laporan Wartawan Tribunnews.com Namira Yunia Lestanti
TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON – Kontraksi yang terjadi pada perekonomian dunia, membuat harga minyak mentah terseret turun hingga anjlok sekitar 5 persen atau 4 dolar AS per barel di perdagangan pasar global pada Kamis (5/1/2022) pagi.
Menurut laporan Reuters, harga minyak mentah jenis Brent berjangka telah turun 5,2 persen dan harganya menetap di level 77,84 dollar AS per barrel.
Penurunan ini memperpanjang kerugian Brent yang telah merugi 94 persen dalam sepekan terakhir, hingga tercatat sebagai kemerosotan terbesar sejak 1991.
Baca juga: Lonjakan Kasus Covid-19 di China Bikin Harga Minyak Dunia Merosot
Kondisi serupa juga dialami minyak West Texas Intermediate dimana pada Kamis pagi harga minyak jenis ini turun sebanyak 5,3 persen menjadi 72,84 dollar AS per barrel.
Amblasnya harga minyak di pekan ini terjadi setelah keadaan ekonomi global berkontraksi, akibat anjloknya prospek Manufaktur AS selama bulan Desember tahun lalu yang turun menjadi 48,4 dari 49,0 pada bulan November. Kemerosotan ini lantas mendorong munculnya pembengkakan angka pengangguran di AS.
Hingga membuat The Fed kembali menyerukan langkah agresif dengan mengerek naik laju suku bunga acuan guna menahan lonjakan inflasi lebih lanjut di sepanjang tahun 2023.
Sayangnya pengetatan yang dilakukan The Fed mendorong munculnya kekhawatiran para pelaku pasar modal akan adanya perlambatan ekonomi.
Baca juga: Azerbaijan Tangguhkan Pasokan Minyak Mentah Rusia ke Kilang Turki karena Embargo Uni Eropa
Tekanan tersebut yang kemudian membuat para investor mulai kehilangan kepercayaan terhadap pasar global, termasuk pada perdagangan minyak mentah.
Selain tekanan dari The Fed, anjloknya perdagangan minyak dunia terjadi imbas berhentinya operasi manufaktur di China akibat meningkatnya kasus Covid-19 di China. Alasan ini kemudian membuat konsumen minyak terbesar nomor dua di dunia yakni China mulai mengurangi permintaan minyak mentahnya.
"Minyak mentah diperdagangkan lebih rendah di tengah kekhawatiran seputar Covid-19 China dan kebijakan The Fed yang memaksa resesi global. Keduanya memicu kehancuran," kata Bob Yawger, direktur energi berjangka di Mizuho di New York.