News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Harga Minyak Goreng Kembali Melambung, Mendag Zulkifli Ancam Tutup Agen, DPR Ungkap Penyebabnya

Editor: Seno Tri Sulistiyono
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Melambungnya harga minyak goreng kembali terjadi saat ini, padahal pemerintah sudah mematok harga eceren tertinggi (HET) Minyakita sebesar Rp14.000 per liter. Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional, kemarin, harga minyakita mayoritas di atas harga HET, bahkan di Provinsi Gorontalo sebesar Rp 22.600 per liter.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Melambungnya harga minyak goreng kembali terjadi saat ini, padahal pemerintah sudah mematok harga eceren tertinggi (HET) Minyakita sebesar Rp14.000 per liter.

Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional, kemarin, harga minyakita mayoritas di atas harga HET, bahkan di Provinsi Gorontalo sebesar Rp 22.600 per liter.

Anggota Komisi VI DPR Amin Ak menilai pemerintah hanya sibuk mengatur sisi hilir atau pemasaran akhir dalam menciptakan harga minyak goreng terjangkau.

Baca juga: Ini Penyebab Minyak Goreng Minyakita Langka di Bandung Raya

Menurutnya, akar masalahnya klasik yakni berkurangnya pasokan bahan baku atau crude palm oil (CPO).

Kelangkaan pasokan CPO seharusnya tidak terjadi apabila pengusaha sawit mematuhi kewajiban penyediaan domestic market obligation (DMO).

"Masyarakat berhak curiga jika pengawasan oleh pemerintah terhadap kepatuhan pengusaha dalam memenuhi DMO 20 persen CPO tidak berjalan," kata Amin, Jumat (3/2/2023).

Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 49/2022 tentang Tata Kelola Program Minyak Goreng Rakyat mewajibkan pelaku usaha sawit untuk menyediakan DMO CPO sebesar 450 ribu ton per bulan, sementara kebutuhan CPO untuk minyak goreng di dalam negeri sekitar 300 ribu ton per bulan.

Permasalahannya, apakah pengusaha betul-betul mematuhi ketentuan DMO 20% CPO? Kemudian apakah betul CPO tersebut dialokasikan untuk kebutuhan dalam negeri dalam artian minyak goreng yang diproduksi itu betul-betul didistribusikan untuk kebutuhan dalam negeri?

"Saya melihat ada kelalaian pemerintah dalam memonitor pasokan minyak sawit atau CPO," tegasnya.

Jika aturan Permendag tersebut dilaksanakan dengan baik, pasokan CPO seharusnya lebih dari cukup bahkan tersedia cadangan yang bisa digunakan jika sewaktu-waktu terjadi lonjakan kebutuhan.

Sedangkan alasan pasokan CPO tersedot untuk program biodiesel B35, menurut Amin, ini alasan yang tidak logis. Program Biodiesel sendiri ditujukan untuk menyerap kelebihan pasokan akibat larangan impor CPO Indonesia oleh negara-negara Uni Eropa.

"Kok aneh jika program biodiesel B35 menyedot CPO untuk minyak goreng rakyat, ditengah turunnya permintaan ekspor akibat larangan impor oleh Uni Eropa. Seharusnya biodiesel diprioritaskan untuk menampung kelebihan produksi CPO non DMO," kata Amin.

Karena itu Amin mendesak pemerintah membuka hasil audit implementasi kepatuhan pengusaha dalam memenuhi DMO CPO.

"Audit secara konsisten penting untuk menjaga stabilitas dan pengendalian harga dan pasokan minyak goreng di dalam negeri, terutama minyak goreng," pungkasnya.

Halaman
123
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini