Mencermati masalah tersebut, Arief Prasetyo Adi menjelaskan, kesepakatan harga dalam surat edaran tersebut dimaksudkan agar terjadi kewajaran harga mulai dari hulu hingga hilir, mulai dari tingkat petani hingga konsumen.
“Sekarang ini harga memang tidak normal. HPP masih belum dikeluarkan secara resmi. Kami sedang menyiapkan HPP. Tapi membicarakan masalah pangan tidak boleh sepotong-sepotong, harus menyeluruh mulai dari hulu sampai hilir,” kata Arief Prasetyo.
Badan Pangan Nasional yang baru berumur setahun ini, menurut Arief, juga sedang menyiapkan berbagai kebijakan dan strategi yang menyeluruh menyangkat masalah pangan mulai dari hulu sampai hilir. Misalnya soal harga, tidak bisa di tingkat hulu harga ditekan, lalu di hilirnya tidak dijaga. Harus ada kontinuitas dan keseimbangan. “Boleh mengambil keuntungan, tapi harus tetap dalam batas kewajaran,” ujarnya.
Bulog disebutnya akan menyerap hasil panen dari petani. Sebab, menurutnya, Bulog memang ditugaskan untuk itu dan memiliki dana yang cukup untuk menyerap produksi petani. Bulog, menurutnya, punya dana untuk menyerap produk petani sebesar Rp 20 triliun saat ini.
Mengomentari penjelasan Kepala Badan Pangan tadi, Khudori menyarankan agar pemerintah segera menetapkan HPP yang tidak merugikan petani, namun juga tidak memberatkan konsumen. HPP, menurutnya, bisa menjadi instrumen yang menutup peluang terjadinya moral hazard. “Yang penting ada instrumen bagaimana petani tidak dirugikan, tidak memberat konsumen, dan tidak mematikan pengusaha penggilingan kecil,” ujarnya.
Solusi Komprehensif
Tak hanya soal ketersediaan dan harga pangan yang menjadi perdebatan panas peserta FGD. Muncul juga desakan agar pemerintah membuat grand design tata kelola pangan nasional yang komprehensif agar terbangun ketahanan pangan yang berkelanjutan.
Salah satunya dari Gubernur Sumsel Herman Deru. Ia berharap agar pemerintah pusat lebih banyak membuat kebijakan dan langkah-langkah yang lebih menguntungkan petani. Sebab, menurutnya, tanpa dorongan dan insentif dari pemerintah pusat, produktivitas pangan berkelanjutan sulit untuk diwujudkan. “Petani kita tak bangga dengan profesinya. Generasi milanial tak tertarik menjadi petani. Bagaimana mau tertarik kalau pendapatannya cuma setara Rp 100 ribu,” katanya.
Meski begitu, untuk meningkatkan ketahanan pangan di wilayahnya, Gubernur Herman Deru kian gigih mengupayakan berkembangnya serta meningkatnya produksi pangan di Sumsel. Bahkan sejumlah usulan hingga terobosan yang berpotensi pada kemajuan sektor pangan khususnya beras di Sumsel terus dilakukan hingga saat ini. Hasilnya, dalam waktu tak kurang dari 4 tahun masa kepemimpinnya, Sumsel pun menduduki peringkat 5 besar sebagai provinsi penghasil padi terbesar di Indonesia.
“Saya pastikan Sumsel tidak main-main dalam hal pangan ini. Pada awal menjabat sebagai Gubernur, produksi beras di Sumsel ini hanya menduduki peringkat 8 besar, namun saat ini meningkat lima (5) besar. Artinya, Sumsel ini betul-betul serius untuk memajukan pangan ini,” kata Herman Deru.
Bahkan untuk menjaga semangat para petani, lanjutnya, Pemprov Sumsel pun menyerap beras hasil petani di Sumsel melalui Bulog. Beras petani yang diserap tersebut diberikan kepada ASN di lingkungan Pemprov Sumsel.
“Memang jumlah yang diserap hanya beberapa ton, tapi yang jelas ini untuk menjaga psikologi petani agar merasakan jika pemprov ini peduli,” katanya.
Yang menjadi persoalan, menurutnya, para petani adalah mereka yang masih merasa menjadi buruh di lahannya sendiri. “Inilah yang masih kita upayakan. Petani ini masih merasa menjadi buruh di lahannya, karena memang hasil yang didapat petani jauh dari kata cukup,” tuturnya.
Sementara itu, Direktur Utama PT Pupuk Sriwijaya (Pusri) Tri Wahyudi Saleh, menyampaikan sejumlah kendala dalam mendukung peningatan produksi pangan. Salah satunya, misalnya, masalah pasokan fosfat.
“Pemerintah harus menyiapkan agar bahan baku pupuk selalu tersedia yang cocok dengan kebutuhan petani kita,” katanya.