Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek Indonesia) mengatakan, peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day tahun 2023 akan bisa dijadikan momentum untuk menyatukan semua kekuatan buruh melakukan perlawanan terhadap Omnibus Law Undang Undang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja).
Menurut Mirah, kebijakan yang tertuang dalam aturan tersebut sangat merugikan pekerja dan rakyat Indonesia.
"Konsistensi perlawanan dan penolakan terhadap UU Cipta Kerja menjadi isu penting yang disuarakan oleh Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia dalam memperingati May Day tahun 2023," ucap Mirah kepada Tribunnews, Senin (1/5/2023).
Ia menilai Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belum bersungguh-sungguh dalam malaksanakan amanat Undang Undang Dasar 1945, Pasal 27 ayat 2.
“Dari situ dikatakan, tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan," ucap Mirah.
Baca juga: Peringatan Hari Buruh Internasional, KSP: Presiden Selalu Dengarkan Aspirasi Buruh
"Berdasarkan Pasal 27 ayat (2) tersebut, setidaknya terdapat dua kewajiban Negara yang harus dipenuhi oleh Pemerintah, yaitu memberikan pekerjaan dan memberikan penghidupan, yang keduanya harus layak bagi kemanusiaan," sambungnya.
Dirinya kembali melanjutkan, bukti paling kongkrit minimnya keberpihakan Pemerintah dan DPR terhadap nasib pekerja, adalah tetap dipaksakannya UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 oleh Mahkamah Konstitusi (MK) telah dinyatakan cacat secara formil dan inkonstitusional bersyarat.
Ia mengatakan, alih-alih mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi dan melakukan perbaikan atas UU Cipta Kerja, pada 30 Desember 2022, Presiden Joko Widodo justru mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
"Peran DPR yang seharusnya memperjuangkan aspirasi rakyat, ternyata justru lebih berpihak kepada kepentingan pemodal atau investor, dan tidak lebih sebagai stempel bagi Pemerintah," pungkas Mirah.