Laporan wartawan Tribunnews.com, Endrapta Pramudhiaz
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika menyebut kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) tidak efektif dalam meredam kenaikan harga beras.
Menurut dia, permasalahan dari kenaikan harga beras ini sebenarnya terletak pada penawaran (supply) dan permintaan (demand).
"Artinya kalau memang supply banyak, pasti harga beras turun. Kalau supply sedikit, harga beras pasti naik. Buat apa kita pake HET? Persoalannya produksi," kata Yeka dalam konferensi pers di kantor Ombudsman RI, Jakarta, Senin (18/9/2023).
Baca juga: Harga Beras Medium Hari Ini Naik, Tembus Rp13.040 Per Kg, Pemerintah Klaim Akan Turun
Ia lalu memaparkan bagaimana persentase kenaikan harga beras premium sejak September 2022 hingga September tahun ini memiliki angka yang lebih tinggi dibanding kenaikan HET.
Angka HET dinaikkan dari Rp 12.800 menjadi Rp 13.900, yang berarti terjadi kenaikan sebesar Rp1.100 atau sekitar 8,58 persen.
Nah, kenaikan harga berasnya melebihi itu. Dalam periode yang sama, kenaikannya berada pada rentang 12,34 persen hingga 15,62 persen.
"Artinya, ada peningkatan yang didorong bukan karena persoalan HET, tapi persoalan supply dan demand," ujar Yeka.
Sama halnya dengan harga beras medium. HETnya sudah dinaikkan dari Rp 9.450 menjadi Rp 10.900, tapi kenaikan harga beras per kilogramnya masih di atas itu.
Baca juga: 2.000 Ton Beras Masuk Pasar Induk Cipinang, Bapanas: Harga Beras Bakal Turun Besok
Kenaikan dari Rp 9.450 ke Rp 10.900 berarti sekitar 15,3 persen. Sedangkan kenaikan haga beras medium sejak September tahun lalu hingga tahun ini berada pada rentang 15,25 hingga 20,15 persen.
Yeka kemudian mengatakan bahwa dari pengawasan HET ini juga sejatinya sudah terlihat aneh karena rumitnya dalam melakukan penindakan.
"Bagaimana caranya mau melakukan penindakan terhadap ratusan ribu toko warung se-Republik Indonesia? Masa gitu cara mengawasinya. Kan ada yang aneh dari HET itu," katanya.