Laporan Wartawan Tribunnews.com, Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Selama beberapa dekade terakhir, berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi permasalahan iklim dengan mendorong produksi energi ramah lingkungan melalui sumber energi terbarukan dan tidak terbarukan.
Namun, aksesibilitas energi ramah lingkungan yang berkorelasi dengan biaya yang terjangkau dan sumber yang berkelanjutan masih menjadi tantangan.
Baca juga: Lanjutkan Transisi Energi, Pemerintah Tetap Maksimalkan Energi Fosil
Berbagai kegiatan penelitian telah dilakukan pada berbagai topik, sehingga menghasilkan pengembangan teknologi inovatif untuk meningkatkan akses terhadap energi hijau. Sementara, di era saat ini, tantangan penggunaan energi ramah lingkungan sudah tidak bisa ditawar lagi. Karena itu, upaya penggunaan
teknologi yang berorientasi pada pengurangan emisi karbon harus diupayakan dengan menggunakan sumber energi berkelanjutan yang tidak menghasilkan emisi karbon.
Kepala Organisasi Riset Energi dan Manufaktur Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Haznan Abimanyu mengatakan, tema ini sesuai dengan upaya pemerintah dan merupakan momentum yang tepat untuk melanjutkan komitmen Indonesia dalam mewujudkan target Energi Baru Terbarukan (EBT) pada tahun 2023 dan Net Zero Emission pada tahun 2060.
“Dari sisi demand, apabila kita melihat kebutuhan energi di Indonesia, diprediksi akan terus meningkat seiring penambahan populasi, perubahan gaya hidup serta pertumbuhan ekonomi. Permasalahan energi tersebut secara sederhana dapat dibagi dalam dua bidang besar yakni ketenagalistrikan dan bahan bakar. Ketenagalistrikan ditandai oleh dominasi batubara dan penyediaan bahan bakar yang didominasi oleh minyak bumi (fossil)”, ungkap Haznan di webinar Energi Hijau dan Reduksi Emisi Karbon dengan topik Teknologi dan Strategi Untuk Menuju Transisi Energi yang Berkelanjutan yang diselenggarakan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) di Jakarta.
Baca juga: TPK Palaran Samarinda Dicanangkan Jadi Green and Smart Port, Mulai Kurangi Penggunaan Energi Fosil
Sementara itu, Ketua Kelompok Riset Green Fuel sekaligus Perekayasa Ahli Utama BRIN Unggul Priyanto mengatakan penggantian sumber energi fosil jelas bukan perkara mudah karena selama ini di sektor transportasi 94 persen masih mengandalkan minyak bumi dan di sektor Kelistrikan masih menggunakan energi fosil 84 persen dengan penggunaan batubara 62 persen.
Sedangkan di sektor rumah tangga penggunaan bahan bakar masih didominasi dengan LPG. Namun, sesuai dengan komitmen internasional ke depan penggunaan energi fosil terutama batubara harus dikurangi. Karena itu, salah satu langkah penting dalam usaha tersebut adalah melalui peralihan ke sumber energi yang lebih bersih dan berkelanjutan seperti biofuel, hidrogen, biomass, dan algae dalam mencapai tujuan ini, tambahnya.
Unggul menjelaskan, biofuel yang dihasilkan dari minyak nabati seperti tanaman, merupakan alternatif yang menjanjikan untuk menggantikan bahan bakar fosil. Dengan pengembangan teknologi biofuel yang semakin maju, kita memiliki kesempatan untuk mengurangi emisi karbon secara signifikan dalam sektor transportasi.
Hal ini bukan hanya tentang pengurangan emisi, tetapi juga tentang memberdayakan petani lokal dan mempromosikan pertanian berkelanjutan.
“Salah satu teknologi pemanfaatan biofuel yang sudah terbukti dipakai di Indonesia adalah biodiesel yang sudah menggantikan peranan solar sampai 35 persen sehingga selain ramah lingkungan juga bisa mengurangi impor bahan bakar minyak.
Kedepan pemanfaatan minyak nabati perlu dilakukan melalui teknologi konversi minyak nabati menjadi green diesel, green gasoline, dan bahkan bio-avtur sehingga penggunaannya selain dalam volume yang bisa mencapai lebih dari 50 persen juga bisa dipakai menggantikan premium dan avtur. Disisi lain, penggunaan minyak nabati seperti sawit juga bisa dipakai untuk meredam kelebihan pasokan akibat hambatan ekspor dari negara negara maju," ungkap Unggul.
Baca juga: Astronom Temukan Gelembung Galaksi Berukuran Miliaran Tahun Cahaya, Dipercayai Sisa Fosil Big Bang
Hidrogen yang diprediksi akan menjadi energi bersih dan bahan bakar masa depan, menawarkan potensi luar biasa dalam mengurangi emisi karbon. Teknologi hidrogen hijau, yang memanfaatkan sumber energi terbarukan seperti, hidro, panas bumi, PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) untuk memproduksi hidrogen, menjadi salah satu solusi utama dalam transisi ke energi bersih. Ini adalah langkah besar menuju mobilitas yang berkelanjutan dan industri yang lebih ramah lingkungan, jelasnya.
“Untuk biomass, seperti limbah pertanian dan hutan yang tidak terpakai, dapat menjadi sumber energi yang berkelanjutan melalui proses konversi yang tepat. Dengan memanfaatkan biomass, kita dapat mengurangi sampah organik dan memproduksi bioenergi, mengurangi emisi karbon, dan mendukung pembangunan pedesaan, ungkapnya.
Terakhir, untuk potensi algae yang merupakan organisme mikroskopis yang dapat digunakan untuk menghasilkan biofuel dan mengurangi emisi karbon. Algae memiliki keunggulan dalam pertumbuhan yang cepat dan kemampuan untuk mengambil karbon dioksida dari udara, membantu mengatasi dua masalah sekaligus”, ungkap Unggul.
Namun, diversifikasi sumber energi fosil ke Energi terbarukan tidaklah mudah baik di sektor transportasi maupun pembangkit listrik. Di sektor pembangkit listrik mengurangi peranan energi fosil seperti batubara tidak mudah mengingat penggunaanya sangat besar dan memerlukan kontinuitas. Untuk mengatasi masalah tersebut sebagai alternatif untuk transisi menuju net zero emission, perlu penggunaan CCUS atau (Carbon Capture Utilization and Storage), tutup Unggul.
Webinar ini memberikan kesempatan yang sangat baik bagi masyarakat untuk menjelajahi perkembangan terbaru dalam teknologi biofuel, hidrogen, biomass, penggunaan algae, dan CCUS dalam upaya mencapai transisi energi yang berkelanjutan. Di acara ini, para ahli dan pemangku kepentingan akan berbagi pengetahuan dan praktik terbaik mereka dalam upaya untuk menciptakan masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan.