TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Memberikan kontribusi sebesar 3,99 persen pada PDB Non Migas Indonesia pada tahun 2022, industri Kertas Indonesia menghadapi hambatan perdagangan dari negara pesaing dan negara tujuan ekspor, khususnya dari Tiongkok, pasar ekspor utama kertas Indonesia.
Meskipun ada perjanjian dagang seperti ACFTA dan RCEP, manfaatnya masih belum dimaksimalkan oleh Industri Kertas Indonesia, justru menciptakan dampak yang memberatkan dan berpotensi merugikan kedepannya.
Ketua Umum Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) Liana Bratasida, mengatakan sejak berlaku tahun 2010, skema ACFTA menempatkan produk kertas Indonesia dalam jalur sensitif, mengakibatkan tarif impor tinggi di Tiongkok.
Baca juga: Resmikan Smelter Freeport di Gresik, Jokowi: Munculkan Industri Baru dan Tambah Lapangan Kerja
"APKI telah menyuarakan keprihatinan tentang masalah ini selama lima tahun terakhir, terlebih dengan memang banyaknya tekanan perdagangan global saat ini," ujar Liana pada agenda Focus Group Discussion (FGD) dan Sosialisasi Studi oleh Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia dengan judul "Dampak RCEP pada Industri Kertas dan Potensi Perdagangan Indonesia dengan Tiongkok" pada 14 Desember di Jakarta.
"Kami menyadari bahwa RCEP yang telah berlaku sejak 1 Januari 2023, sangat baik untuk ekspansi perdagangan Indonesia secara nasional, namun ternyata memiliki potensi yang lebih memberatkan kedepannya untuk industri kertas," kata Liana.
Sebanyak 102 Pos Tarif produk kertas Indonesia tidak mendapatkan liberalisasi perdagangan di Tiongkok dan menghadapi tarif tinggi 5-7, 5 persen. Sementara itu, 223 Pos Tarif produk kertas impor dari Tiongkok mendapatkan diliberalisasi menjadi 0 persen di bawah RCEP.
"Hal ini tentunya memunculkan kekhawatiran besar bagi kami industri kertas, karena barang impor akan sangat mungkin masuk ke pasar Indonesia dengan harga yang lebih murah," tambah Liana.
Kapasitas produksi Industri Kertas Tiongkok mencapai 255 juta ton, sedangkan kapasitas Indonesia yang masih terus berkembang saat ini 13.4 juta ton. Dengan banyaknya perang dagang dan pemulihan ekonomi domestik Tiongkok, ada peluang besar bagi Tiongkok untuk meningkatkan ekspor kertasnya ke berbagai negara di ASEAN, termasuk Indonesia.
“Kami sangat mengharapkan kesediaan bantuan dari Pemerintah Indonesia untuk kedepannya dapat membantu kami menghadapi kegelisahan ini, terlebih sesuai laporan dari anggota-anggota APKI, produk kertas yang banyak masuk ke Indonesia pada tahun 2023 ini harganya bahkan lebih murah 50 persen dari tahun-tahun sebelumnya sebelum RCEP berlaku,” tambah Liana
Baca juga: Genjot Industri di Sumatera, Subholding Gas Pertamina Pasok Gas Bumi ke Pupuk Iskandar Muda
Dr. Eugenia Mardanugraha dari LPEM, FEB Universitas Indonesia, mencatat tren impor kertas dari Tiongkok ke Indonesia meningkat. Tarif bea masuk tinggi yang dikenakan oleh Tiongkok dan liberalisasi tarif bea masuk Indonesia sesuai PMK 224/PMK.010/2022 menunjukkan adanya potensi ketidakseimbangan yang memberatkan Industri Kertas Indonesia.
"Bukan hanya dialami oleh Industri Kertas, namun situasi ini bisa mempengaruhi industri lain yang memiliki nasib serupa. Menurut analisis kami, pemerintah perlu waspada terhadap potensi peningkatan impor Tiongkok ke Indonesia karena ketidakseimbangan ini," ujar Eugenia.
"Jelas, penanganan aksi mitigasi liberalisasi RCEP dan juga perbaikan akses pasar bukan hanya tugas dari satu atau dua pihak, melainkan tugas bersama kita. Kami berharap studi ini menjadi titik awal diskusi antar pihak (Industri dan Kementerian/Lembaga) ke depannya untuk menjaga stabilitas perdagangan kedua negara yang telah lama terjalin," tutup Eugenia dalam penyampaian studinya.
Pentingnya Sinergi Industri dan Pemerintah dalam Peningkatan Perdagangan
Eugenia menambahkan, ke depannya diperlukan aksi mitigasi kebijakan untuk melindungi Industri Indonesia dan meningkatkan daya saing di pasar domestik melalui beberapa Kebijakan pengamanan perdagangan seperti Trade Remedies, Standar, Sertifikasi dan Larangan atau Pembatasan (Lartas) Kertas Impor.
"Untuk perbaikan akses pasar, bisa dibuka diskusi untuk kemungkinan adanya kerjasama perdagangan terbatas antara Indonesia dan Tiongkok," usul Eugenia berdasarkan studi oleh Universitas Indonesia.