TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penerapan kenaikan pajak hiburan minimal 40 persen diyakini bakal menimbulkan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri hiburan.
Penyanyi dangdut sekaligus pengusaha industri jasa hiburan Inul Daratista menyatakan, bisnis karaoke Inul Vista terancam tutup jika pemerintah tetap memutuskan kenaikan tarif pajak minimal 40 persen sampai 75 persen di tahun 2024.
Menurutnya, perhitungan kenaikan 40-75 persen itu bukan sekedar menyoal biaya pembayaran pajak saja, melainkan juga ada pengeluaran lain yaitu pembayaran karyawan juga turut berdampak.
"Jadi kalo pemasukan kita tidak mencapai target tersebut, terpaksa kita harus tutup. Selesai sudah bisnis usaha karaoke keluarga. Kita tidak punya karyawan lagi, kita tidak bisa setor ke LMKN, kita tidak bisa mendistribusikan uang musik kita ke salah satu badan asosiasi," kata Inul di Kantor Kemenko Perekonomian, Senin (22/1/2024).
Baca juga: Pajak Hiburan Naik, Inul Ancang-ancang Tutup Usaha Karaoke Kalau Pemasukan di Bawah Target
Inul menyebut, setidaknya 5.000 karyawan terancam PHK jika bisnisnya InulVista ditutup.
Dia juga bilang, selain membayar pajak hiburan perusahaan juga membayar hak cipta kepada Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
"Kenapa bukan 0-70 persen tapi 100 persen yang harus keluar dari kita karena karaoke keluarga yang terlibat banyak. Kalau seandainya dari pendapatan kita tidak sesuai, kita setor ke LMKN itu kan juga hak cipta, hak terkait itu yang kita setorkan. Itu melibatkan insan musik, pendapatannya dari kita," ungkapnya.
Inul pun berharap, pertemuan dengan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto bersama pengusaha terkait mendapatkan solusi yang baik.
"Jadi artinya mudah-mudahan rapat ini dapat memberikan solusi untuk kita dan tentunya aman untuk dijalankan. Ketika surat edaran dari Mendagri ini benar-benar bisa menjadi pegangan dan acuan kita untuk terus bekerja," ucap dia.
"Mudah-mudahan nanti dengan Judicial Review dan keputusan Mahkamah Konstitusi ini keputusan yang baik dan dipikirkan juga karena menyangkut banyak orang tentunya disini pajak ini selain berat," sambungnya.
Dalam kesempatan yang sama, pengusaha Hotman Paris merasa, kenaikan tarif pajak hiburan sebesar 40 persen-75 persen akan sangat memberatkan dan bisa mematikan dunia usaha.
Belum lagi, ditambah dengan pajak lainnya, bisa-bisa para pengusaha menyetorkan pajak hampir 100 persen ke kas negara.
"Kalau dihitung-hitung hampor 100% pajak yang kita bayar," kata Hotman.
Diketahui, penerapan Pajak Barang Jasa Tertentu (PBJT) dengan tarif minimum 40 persen dan maksimal 75 persen bagi pelaku usaha karaoke, diskotek, spa, dan kelab malam menuai protes keras.
Ketentuan tarif pajak hiburan paling kecil 40 persen ini diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 2022 atau juga dikenal dengan UU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD).
Besaran tarif pajak hiburan yang terbaru ini diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 5 Januari 2022 lalu dan mulai diundangkan di tanggal yang sama.
Sedangkan, tarif pajak hiburan maksimal 75 persen sejatinya sudah ada sejak lama yang diatur dalam UU Nomor 28 tahun 2009 atau UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD).
Jokowi Marah
Meski UU HKPD telah ditandatangani Presiden Jokowi, namun kabarnya Jokowi mengaku marah saat mengetahui besaran kenaikan pajak hiburan minimal 40 persen.
Hal tersebut diketahui dari pernyataan Hotman saat di Kantor Kemenko Perekonomian bersama pengusaha industri hiburan lainnya.
Menurutnya, Presiden Jokowi sebelumnya tidak mengetahui ketentuan baru terkait batas pajak hiburan tertentu menjadi 40-75 persen.
"Pak Jokowi sendiri, presiden, tidak dilaporkan secara detail tentang besaran pajak 40 persen tersebut, dan beliau marah," kata Hotman.
Ia menyebut, hal itu menjadi salah satu pertimbangan, Presiden Jokowi akhirnya mengadakan rapat internal kabinet yang membahas pajak hiburan pada Jumat (19/1/2024) lalu.
Dari rapat tersebut, pemerintah daerah diperbolahkan untuk memungut pajak hiburan tertentu yang lebih rendah dari 40-75 persen, sebagaimana diatur dalam Pasal 101 UU HKPD.
Untuk diketahui, pasal tersebut mengatur kewenangan pemerintah daerah untuk memberikan insentif kepada pelaku usaha berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan atau pengurangan pokok pajak.
"Disepakati bahwa pemerintah boleh kembali kepada tarif pajak yang lama, bahkan mengurangi juga boleh karena di Pasal 101 UU itu secara jabatan pemda berhak," tutur Hotman.
Untuk menjalankan hak pemberian insentif oleh pemda kepada pelaku usaha, pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri pun sudah menerbitkan surat edaran (SE) untuk pemda.
Baca juga: Gandeng Ketua Umum Industri Pariwisata, Inul Daratista-Hotman Paris Kompak Bicara soal Pajak Hiburan
"Pemda secara jabatan tidak harus patuh kepada 40 persen dia berwenang kembali kepada tarif yang lama atau bahkan mengurangi," katanya.
"Itu isi undang-undang, jadi bukan perintah Jokowi ini ya," sambung Hotman.
Hotman pun mengimbau kepada pemerintah daerah untuk mengikuti ketentuan tersebut, sebab sebagaimana diatur dalam UU HKPD, penentuan besaran tarif pajak hiburan yang termasuk dalam pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) ditetapkan oleh pemerintah daerah.
"Jadi sekali lagi kepada semua pemda, kami mengimbau, bahwa presiden pun sangat marah atas tarif pajak yang sangat tinggi tersebut," ucapnya.
Insentif PPh DTP 10 Persen Tak Menarik
Pemerintah berencana memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha hiburan guna memperkuat implementasi kebijakan terkait Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT).
Insentif fiskal tersebut akan diberikan kepada sektor pariwisata berupa pengurangan pajak dalam bentuk pemberian fasilitas ditanggung pemerintah (DTP) sebesar 10% dari pajak penghasilan (PPh) badan, sehingga besaran PPh Badan yang besarnya 22% akan menjadi 12%.
Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Hariyadi Sukamdani mengatakan, insentif fiskal berupa pengurangan pajak tersebut tidak menarik bagi pengusaha apabila kenaikan tarif pajak hiburan tetap ditetapkan sebesar 40%-75%.
Namun, apabila pemerintah membatalkan tarif pajak hiburan tinggi tersebut, maka pemberian insentif PPh DTP tersebut bisa menarik dan membantu pengusaha.
"Itu dalam kondisi UU Nomor 1 Tahun 2022 sudah menjadi kompositif, tentu sudah tidak menarik. Kecuali kalau ini bisa dibatalkan dan kembali kepada sisi yang lama itu baru menarik. Kalau sekarang tidak menarik," ujar Hariyadi.