TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kenaikan tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) yang diterapkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebesar 5 persen dinilai tidak tepat untuk menaikan pendapatan daerah.
Peneliti di Alpha Research Database Ferdy Hasiman mengatakan, kenaikan harga BBM non subsidi imbas dari kenaikan PBBKB di luar kewenangan badan usaha.
"Kalau soal pajak itu bukan urusan badan usaha, itu kebijakan pemerintah," kata Ferdy, Senin (19/2/2024).
Baca juga: Harga BBM Pertamina Se-Indonesia Hari Ini, 19 Februari 2024: Pertamax Dijual Rp 12.950 per Liter
Menurut Ferdy, kenaikan PBBKB yang berimbas pada kenaikan harga BBM, meskipun non subsidi akan memberatkan masyarakat, tidak tepat dijadikan pilihan untuk meningkatkan pendapatan daerah.
"Kalau ingin meningkatkan pendapatan jangan BBM yang jadi sasaran. Jadi nggak usah bikin kebijakan yang menyusahkan rakyat," tutur Ferdy.
Ferdy pun menyebut kebijakan tersebut kontradiktif dengan upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dia pun mengkhawatirkan adanya penurunan perekonomian atas penerapan kenaikan PBBKB dan pergeseran pengguna non subsidi ke BBM subsidi jika beda harga makin jauh.
"Masyarakat sudah kesulitan cari duit nanti perekonomiannya seperti apa? Seharunya kebijakan publik itu harus berpihak ke rakyat," tuturnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian ESDM Tutuka Ariadji meminta untuk kebijakan kenaikan tarif PBBKB ditunda. Sebab, dinilai kurang sosialisasi.
"Sosialisasi kita rasakan kurang, dan (ada) masalah sosial lainnya. Jadi kami mengimbau itu betul-betul diperhatikan oleh Pemda setempat," ucap Tutuka.
Oleh karenanya, pihaknya telah mengambil sikap untuk berkomunikasi terkait masalah kenaikan PBBKB tersebut kepada Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan.
"Akhirnya kami mengambil sikap ke Kemendagri dan Kementerian Keuangan tentang kendala-kendala itu. Karena itu berhubungan dengan sektor kami, sektor migas dalam mendistribusikan BBM," ucapnya.