Dari total itu, dihitung pajaknya menggunakan tarif efektif rata-rata (TER) sesuai tabel dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58/2023 jo. PMK 168/2023.
Lalu, untuk akhir tahun atau Desember diperhitungkan sesuai dengan ketentuan pasal 17 UU PPh jo UU Cipta Kerja dikurangi akumulasi TER Januari-November.
Dengan demikian, total penghitungannya ialah penghasilan bruto setahun Rp 71,98 juta dikurangi biaya jabatan setahun Rp 3.599.000, dikurangi iuran pensiun setahun Rp 1,2 juta sehingga penghasilan neto setahun Rp 67,18 juta.
Dari jumlah itu dikurangi penghasilan tidak kena pajak Rp 58,5 juta, sehingga diperoleh penghasilan kena pajaknya senilai Rp 8,68 juta.
Setelah itu dikurangi dengan perhitungan lapisan PPh Pasal 21 terutang setahun untuk dikalikan dengan penghasilan kena pajak. Lapisan tarif pegawai itu masuk ke dalam golongan tarif 5 persen, sehingga 5% x Rp 8.681.000 sehingga total PPh Pasal 21 terutang setahun Rp 434.050.
Dasar Hukum Pemotongan Pajak THR
Dasar hukum pemotongan pajak THR dengan peraturan Dirjen Pajak No. PER-16/PJ/2016. Berdasarkan pph pasal 21 yaitu wajib pajak, pajak THR lebih besar dibanding pajak gaji/upah karyawan. Perhitungan tersebut berdasarkan atas pendapatan tidak teratur serta tidak disetahunkan.
Hal ini telah disebutkan pada PER-16/PJ/2016 pasal 14 ayat 2 huruf a dan b. THR adalah penghasilan bersifat tidak teratur yang diterima sekali dalam setahun. Sehingga menghitung nilai pajaknya tidak perlu disetahunkan.
Baca juga: MK Tolak Hapus Ancaman Penjara Wajib Pajak yang Lalai Lapor SPT
Besaran potongan pajak THR tergantung pada besaran objek pajak yang dikenakan pada karyawan. THR juga termasuk dalam pajak penghasilan atau pph 21 sehingga dipengaruhi kepemilikan NPWP.
THR yang dikenai pajak yaitu apabila penghasilan yang diterima di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) melebihi Rp 4,5 juta per bulan atau Rp 54 juta per tahun. Sedangkan, pajak THR sebesar lima persen untuk berpenghasilan Rp 60 juta dan penghasilan Rp 60 juta-Rp 250 juta kena 15 persen