“Tapi kok hanya rumput pakan ternak, makanya saya mengajukan proposal penanaman kopi di bawah pohon tegakan di hutan negara tersebut,” tambahnya.
Penanaman kopi di hutan negara dilakukan sejak 2018 dengan tetap memperhatikan kelestarian hutan negara di Bukit Potorono.
“Itu tidak ujug-ujug berhasil juga, satu periode kepemimpinan saya belum ada yang berhasil panen, mulai bisa memetik hasil itu tahun 2014,” terangnya.
Dahlan menerapkan disiplin kepada petani kopi di Desa Sambak dengan hanya memanen buah kopi yang sudah matang di pohon atau red cherry saja.
“Itu sengaja dari awal saya ajarkan seperti itu biar kualitas Kopi Potorono bisa terjaga,” kata dia.
Petani Desa Sambak mulai bisa menikmati keuntungan ekonomi dari penjualan hasil kopi pada 2019.
Panenan biji kopi di Bukit Potorono mulai menunjukan bobot yang menggembirakan.
“Mulai 2019 sudah mulai banyak panenan kopi red cherry-nya, mulai 2,5 ton hingga puncaknya pada 2021 kami dapat 21 ton red cherry,” ujar Dahlan bangga.
Adapun red cherry yang diproses hingga menjadi bubuk kopi atau biji kopi roastingan biasanya menyusut diangka 4 banding 1.
“2021 itu red cherry-nya 21 ton, yang akhirnya dijual baik biji kopi atau gilingan itu berkisar di 6 ton, kami jual 170 ribu per kilonya,” kata dia.
Dahlan mengakui petani kopi Sambak kini sudah bisa menikmati hasil dari pengelolaan hutan negara yang dahulunya hanya ditanami rumput pakan ternak.
“Sekarang ya sudah Alhamdulillah, selain warga di Sambak adalah petani padi dan pembuat tahu, ada income tambahan di kopi,” kata dia.
Dahlan berharap Desa Sambak bisa menjadi percontohan desa lainnya dalam memanfaatkan Bukit Potorono.
“Lahan yang ditanami kopi saat ini masih terbatas di lahan Desa Sambak saja, sedangkan Bukit Potorono itu meliputi beberapa desa, harapannya desa lain bisa ikut memanfaatkan Potorono, karena iklim dan tanahnya cocok, kami sendiri sekarang kewalahan melayani pesanan kopi dari konsumen,” ujar kepala desa 3 periode ini.