Sementara di sisi konsumsi, sebagian masyarakat kurang tertarik karena bagi warga yang ternaknya sudah dijual, prosedur penggunaan biogas tentu lebih rumit daripada tabung elpiji.
Kendati demikian, Naryo meyakinkan bahwa pemanfaatan biogas jika intalasi sudah terpasang aman, sangat minim risiko.
Ia mencontohkan, dirinya telah menggunakan biogas kotoran sapi lebih dari satu dekade ini. Selama itu pula, ia mengaku jarang sekali menuai kendala.
Jika prosedur produksi dipenuhi, meksipun hanya memiliki dua ekor sapi, nyatanya gas metana mengalir lancar setiap hari. "Lebih dari 10 tahun saya pakai biogas, instalasinya belum pernah ganti. Cuma pernah ganti kompor saja," kata dia.
Baginya, penggunaan biogas memiliki banyak keuntungan.
Selain menghemat pengeluaran tiap bulan untuk membeli gas elpiji, sisa kotoran sapi yang sudah terolah juga bisa dimanfaatkan sebagai pupuk organik.
Pupuk tersebut bisa langsung dimanfaatkan dalam keadaan basah maupun kering. "Sisa kotoran itu saya pakai buat pupuk rumput, tanaman, ternyata tanamannya bagus juga," ucap dia.
Diketahui, praktik baik pemanfaatan biogas untuk memasak bagi warga Kalurahan Umbulharjo, Sleman, Yogyakarta, ini telah dilakukan sejak lama.
Bukan hanya di Padukuhan Balong Wetan, namun juga tersebar di sejumlah padukuhan lainnya.
Kepala Seksi Kesejahteraan (Ulu-ulu) Kalurahan Umbulharjo, Sugeng Sunarto mengungkapkan, pengolahan kotoran sapi menjadi biogas di wilayahnya telah dilakukan oleh warga di beberapa padukuhan.
Selain Balong Wetan, juga dilakukan sebagian warga di Gondang, Plosorejo, Karanggeneng dan Padukuhan Gambretan. Warga memanfaatkan gas alami tersebut untuk kebutuhan memasak di dapur.
Namun belakangan, seiring jumlah ternak berkurang dan intalasi rusak,sebagian warga tidak melanjutkan kegiatan pengolahan ini.
"Dulu banyak, sekarang sudah banyak yang tidak fungsi," katanya.
Laporan reporter Tribun Jogja, Alga