Ia menegaskan bahwa komitmen pemerintah harus berlanjut agar industri ini tetap stabil dan berkembang.
"Harapannya komitmen pemerintah untuk menjaga keberlangsungan IHT dan 6 juta tenaga kerja di dalamnya juga terwujud di tahun-tahun berikutnya."
"Jangan sampai, ketika di tahun 2026 ada lonjakan tarif yang tinggi, maka akan semakin menekan sektor manufaktur ini. Apalagi mengingat situasi ekonomi saat ini cukup berat, lapangan pekerjaan makin sulit, beban untuk IHT bertumbuh pun semakin berat," ujar Budhyman.
Baca juga: Polemik Kemasan Rokok Polos Tanpa Merek, APTI: Petani Tembakau Kena Dampak Negatif
Budhyman menyoroti pentingnya kepastian dalam berusaha dan serapan tenaga kerja sebagai dua faktor utama yang harus diperhatikan pemerintah dalam menetapkan kebijakan CHT.
Ia mengingatkan pengalaman tahun 2019 ketika tidak ada kenaikan cukai, tetapi diikuti lonjakan lebih dari 20 persen pada 2020. Situasi ini, diperburuk oleh pandemi COVID-19, menyebabkan penurunan drastis dalam kinerja IHT dan sulitnya pemulihan sektor ini.
Budhyman menegaskan bahwa ekosistem pertembakauan di Indonesia sangat kompleks, dan kebijakan yang menekan satu elemen akan berdampak pada elemen lainnya.
Oleh karena itu, ia meminta pemerintah untuk mempertimbangkan dampak jangka panjang dari setiap kebijakan cukai yang diambil, mengingat banyak pihak yang terlibat mulai dari petani hingga konsumen.
"Semua kebijakan dan peraturan, harapan kami pemerintah dapat memitigasi dampak jangka panjangnya. Ada petani tembakau, petani cengkeh, pekerja sektor manufaktur, pedagang, pabrik hingga konsumen yang akan terbebani ketika ada ketidakpastian mengenai kebijakan cukai. Dampak negatifnya masif," tutupnya. (*)