Laporan Wartawan Tribunnews.com Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pajak tidak hanya mendanai pembangunan nasional, tetapi juga digunakan untuk melaksanakan perlindungan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Oleh karena itu, modernisasi administrasi perpajakan melalui Core Tax Administration System (CTAS) sudah menjadi kebutuhan mendesak agar ketahanan fiskal nasional tetap terjaga.
"Core Tax Administration System dalam mengintegrasikan berbagai elemen perpajakan, meningkatkan efisiensi pengelolaan data wajib pajak, serta memberikan pelayanan yang lebih responsif kepada masyarakat," kata praktisi perpajakan, Vinanda Langgeng Kencana saat seminar bertema New Tax Era 2025: Synergy in Simplifying Tax Administration with Core Tax System di Jakarta belum lama ini.
Baca juga: Badan Penerimaan Negara Akan Pisahkan Ditjen Pajak dan BC dari Kemenkeu, Begini Tanggapan Pengamat
Dikatakan Direktur Utama PT Sinergi Dinamis Konsultindo ini, latar belakang pengembangan CTAS adalah kebutuhan untuk mengoptimalkan penerimaan pajak, yang menjadi penyumbang terbesar bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
"Saat ini sistem yang lama yaitu Sistem Informasi Direktorat Jenderal Pajak (SIDJP) yang sudah berusia lebih dari 15 tahun, dianggap tidak lagi memadai untuk mendukung bisnis perpajakan modern," kata Angga, panggilan akrab Vinanda.
Ketidakmampuan sistem lama untuk di-upgrade serta kebutuhan akan integrasi yang lebih baik memicu pemerintah beralih ke Core Tax Administration System.
"Sistem ini akan menjadi landasan reformasi administrasi perpajakan yang mengacu pada praktik terbaik internasional," katanya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, CTAS akan menjadi tulang punggung (backbone) pencapaian penerimaan negara bahkan bisa meningkatkan rasio pajak hingga 1,5 persen dari PDB.
Core Tax memberikan manfaat mulai dari otomasi dan digitalisasi layanan administrasi perpajakan, meningkatkan analisis data kepatuhan wajib pajak berbasis risiko, menciptakan transparansi akun wajib pajak, hingga mendorong laporan keuangan DJP yang prudent dan akuntabel.
Adapun dalam UU APBN 2025, Pemerintah menetapkan target pendapatan negara sebesar Rp3.005,1 triliun, dengan rincian penerimaan perpajakan ditargetkan mencapai Rp2.490,9 triliun dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp513,6 triliun.
Baca juga: e-Tax Court, Upaya Pengadilan Pajak untuk Mempercepat Penyelesaian Sengketa Pajak
Sementara belanja negara dipatok sebesar Rp3.621,3 triliun, di mana belanja kementerian/lembaga (K/L) ditetapkan sebesar Rp1.160,09 triliun, belanja non K/L sebesar Rp1.541,36, serta Transfer ke Daerah (TKD) sebesar Rp919,87 triliun.
Dengan demikian, defisit APBN ditargetkan sebesar Rp616,19 triliun dengan keseimbangan primer defisit Rp63,33 triliun.