Laporan wartawan Tribunnews.com, Endrapta Pramudhiaz
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 dinilai akan berdampak pada penerimaan negara
Menurut Kepala Center of Industry, Trade, and Investment INDEF Andry Satrio Nugroho, penerimaan negara justru berisiko mengalami penurunan meskipun tarif PPN naik.
Ia menilai penerimaan negara dari Pajak Penghasilan (PPh) diprediksi akan turun sebagai dampak dari kebijakan kenaikan PPN.
Dengan kenaikan PPN, daya beli masyarakat akan semakin melemah di tengah kondisi yang sekarang sudah menurun, di mana mereka akhirnya menahan pembelian.
Baca juga: PPN Bakal Naik jadi 12 Persen, Presiden Prabowo Pertimbangkan Turunkan Pajak Kebutuhan Pokok
Hal itu akan akan mempengaruhi kinerja perusahaan, sehingga berimbas pada penurunan penerimaan PPh.
"Kalau PPN 12 persen diterapkan, PPh itu akan semakin turun. Kenapa? Industri pasti akan struggling untuk menjual barang mereka di dalam negeri (karena daya beli masyarakat menurun, red)," kata Andry kepada Tribunnews, Kamis (5/12/2024).
Salah satu alasan mengapa masyarakat akan menahan pembelian adalah karena kenaikan harga yang jauh lebih besar dibanding tarif pajak itu sendiri.
Andry menjelaskan bahwa meskipun tarif PPN naik hanya 1 persen, dampaknya terhadap harga barang bisa jauh lebih signifikan, bisa sampai 9 persen.
"Naik dari 11 persen menjadi 12 persen itu kalau kita berbicara mengenai kenaikan harga itu setara dengan kenaikan 9 persen. Dari 110 jadi 120 itu kan sebetulnya 9 persen gross-nya," ujar Andry.
Andry menjelaskan bahwa proses produksi dari bahan baku menjadi sebuah produk juga akan dikenakan kenaikan PPN, sehingga bisa terjadi double taxation.
Selain itu, dalam proses distribusi juga akan terkena PPN, maka dari itu biaya yang ditimbulkan juga akan menignkat.
Akibatnya, menurut Andry, bukan tidak mungkin bahwa kenaikan harga yang terjadi di pasar akan lebih besar dari sekadar 9 persen, bahkan bisa mencapai 15-20 persen.
"Nah, apa yang terjadi dari situ? Yang terjadi adalah kenaikan harganya bisa jadi bukan 9 persen, bisa jadi 15-20 persen. Nah apakah kenaikan tersebut setara dengan kenaikan upah? Itu kan pertanyaannya," ujar Andry.
"Jadi, balik lagi ini menurut saya masyarakat pada akhirnya boncos juga gitu ya. Kenaikan upahnya tidak seberapa, tetapi kenaikan harga yang terjadi di tahun depan itu jauh lebih tinggi daripada kenaikan upahnya," ucapnya.
Hal serupa juga pernah diutarakan oleh Wakil Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Bob Azam.
Bob mengkhawatirkan bahwa kenaikan PPN justru bisa menyebabkan penurunan tax revenue atau pendapatan pajak negara.
Menurut dia, jika pasar merespons negatif, dampaknya bisa membuat konsumen menahan pembelian, yang pada akhirnya menurunkan volume penjualan dan dapat mengurangi penerimaan pajak.
"Saya khawatir dengan kenaikan PPN ini justru tax revenue kita malah akan turun kalau market bereaksi negatif," kata Bob kepada Tribunnews, Kamis (14/11/2024).
"Kalau bisnis tertekan, pembeli menahan pembelian, market turun, pada akhirnya tax revenue juga turun," sambungnya.
Bob pun mengingatkan pengalaman saat pandemi Covid-19.
Saat itu, pemerintah memberikan insentif Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) untuk sektor otomotif.
Insentif tersebut bukannya menurunkan pendapatan pajak, tetapi malah mendorong kenaikan penjualan mobil, yang berimbas pada peningkatan pendapatan pajak.
"Pengalaman kita sewaktu pandemi Covid selesai, pemerintah kasih relaksasi PPnBM otomotif, sehingga penjualan langsung naik. Tax revenue ikut naik," tutur Bob.
"Nah yang kita khwatirkan kondisi sebaliknya terjadi. PPN naik justru tax revenue akan turun dan ongkos dampak serta pemulihannya akan lebih besar," pungkasnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan, pemerintah akan mengumumkan kejelasan terhadap kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang naik menjadi 12 persen di awal tahun 2025.
"Nanti akan diumumkan Minggu depan," kata Airlangga kepada wartawan di Kantor Kemenko Perekonomian, Selasa (3/12/2024) malam.
Airlangga mengatakan, sebelum diumumkan pihaknya terlebih dulu melapor kepada Presiden RI Prabowo Subianto terhadap nasib kenaikan PPN 12 persen ini.
Sebab, kebijakan itu diketahui menuai kritik dari pengusaha yang menilai bisa menciptakan pemutusan hubungan kerja (PHK) sebagai dampak dari kenaikan PPN 12 persen.