Meskipun agak terlambat, Hardjuno mendukung langkah pemerintah menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar.
Namun dia meminta pemerintah untuk memastikan ketersediaan kebutuhan bahan pokok di seluruh daerah, termasuk juga fasilitas-fasilitas kesehatan yang dapat mendukung terpenuhinya kebutuhan masyarakat, antara lain masker, hand sanitizer, dan juga disinfektan.
Hal ini sudah diatur dalam UU N0 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Dalam Pasal 52 ayat 1 disebutkan Selama penyelenggaraan Karantina Rumah, kebutuhan hidup dasar bagi orang dan makanan hewan ternak yang berada dalam Karantina Rumah menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat.
“Jadi harus ada jaminan dari pemerintah bahwa kebutuhan dasar manusia terpenuhi. Kalau tidak ada jaminan maka rakyat akan marah. Dan yang rugi yang pemerintah,” tegasnya.
Sebelumnya, pemerintah mengatakan pembatasan berskala besar mengacu kepada tiga dasar, yaitu Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Bencana, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kesehatan, dan Undang-Undang Nomor 23 tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya, dalam hal ini adalah darurat sipil.
Akan tetapi kata Hardjuno, penggunaan Undang-Undang Nomor 23 tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya tidak tepat dalam mengatasi wabah virus corona.
Apalagi penetapan status darurat sipil tidak akan membebaskan masyarakat dari bahaya virus berbahaya ini.
Justru, dia menyakini kebijakan darurat sipil hanya akan mengakibatkan kesengsaraan berkepanjangan bagi rakyat lantaran tidak akan menghadirkan perbaikan kondisi ekonomi bagi masyarakat kecil.
“Darurat Sipil merupakan kondisi adanya gangguan atas ketertiban umum, sehingga harus ada pembatasan hingga ke ruang privasi publik," katanya.
"Dengan berlakunya darurat sipil, semua ruang privasi publik akan diatur pemerintah,. Nah, dalam konteks Covid-19 ini, pengggunaan UU Darurat Sipil tidak tepat. Makanya, harus kita tolak,” tegas Hardjuno.