Public health emergency oleh international concern harus memberikan perhatian karena sangat berpotensi untuk menyebar dengan cepat bahkan bisa menjadi pandemi, dan peringatan itu terbukti.
Di Indonesia pun, kita waktu itu merespons dengan cara satu segera lakukan penguatan, pengawasan, di pintu masuk negara.
Saat itu langkah ini kita lakukan karena lotus awalnya tidak di Indonesia, dari China. Artinya tidak mungkin masuk sendiri tanpa melalui pintu masuk.
Di aspek kebijakan sudah dikatakan bahwa ini adalah kedaruratan kesehatan masyarakat.
Ini ditandai terbitnya peraturan menteri sampai peraturan presiden.
Begitu dinyatakan sebagai pandemi, maka sudah masuk di dalam kerangka UU nomor 24 tahun 2007 tentang wabah ini bencana.
Hanya kemudian pada aspek implementasi ini yang akhirnya kita gagal fokus menurut saya.
Ini kedaruratan kesehatan masyarakat, mohon maaf, bukan kedaruratan kesehatan rumah sakit.
Mestinya respon itu di hulu (masyarakat), rumah sakit itu di hilir, tetapi kita terbalik.Ini bukan saja yang terjadi di negara kita saja, di banyak negara pun juga sama.
Jadi, tidak mungkin virusnya jalan sendiri-sendiri, harus ikut tubuhnya manusia. Artinya mobilitas manusia untuk kepentingan kehidupan sosial termasuk kerja dan sebagainya, itu akan juga seiring dengan pergerakan faktor penularnya.
Ini masalah kesehatan. Saya sering katakan memang kesehatan bukan segala-galanya, tetapi tanpa kesehatan segalanya menjadi tidak ada gunanya.
Jadi tidak ada lagi sebenarnya tawar-menawar apakah ini masalah kesehatan apakah ini masalah ekonomi, tidak ada.
Kita harus menempatkan masyarakat sebagai subyek, sekaligus obyek.
Kalau kita melihat mengapa pakai masker, sebagian akan menjawab karena tidak mau didenda, bukan pakai masker karena tidak kepingin ketularan.
(tribun network/denis destryawan)