“Kita melihat angka kematian yang selalu diatas 1000 ini, menunjukkan bahwa situasi sangat serius. Karena kematian adalah indikator keparahan dari situasi pandemic di suatu negara,” kata Dicky.
Dengan indikator kematian tersebut, tidak logis menurutnya jika pada beberapa waktu terakhir tren angka kasus harian menurun jauh dibawah 100.000, mengingat banyaknya jumlah penduduk Indonesia.
Artinya masih banyak kasus di tengah masyarakat yang belum terdeteksi.
Oleh karena itu, jika PPKM Daruarat terpaksa dilonggarkan, maka menurutnya pemerintah harus mencari opsi solusi berupa kompensasi terhadap situasi yang masih serius ini.
“Dengan cara apa? Meningkatkan testing setidaknya satu juta. Tidak mesti PCR, testing bisa dengan rapid test antigen, bahkan sekarang sudah ada yang harganya dibawah 5 dollar
Testing yang ditingkatkan memakai pola yang aktif di masyarakat. Testing sebagai salah satu jalan pendukung pengendalian pandemi yang efektif menurutnya, meskipun tidak ada PPKM maupun PSBB.
Epidemiolog itu sangat menyarankan testing dilakukan dengan gratis dan tidak dibebankan pada masyarakat.
“Karena memang itu yang pas. Sejak awal pandemi, kita harus melakukan dan memilih strategi yang cost effective, tapi memiliki daya ungkit yang besar terhadap pengendalian aspek Kesehatan dan bahkan menghindari beban yang lebih besar di aspek ekonomi, sosial, politik,” kata Dicky.
“Dari awal saya sampaikan 3 T itu, tentu dengan isolasi dan karantina yang efektif. Dan dilakukan juga dengan program kunjungan rumah. Ditambah lagi program vaksinasi yang sudah kita lakukan,” ujarnya
Strategi ini yang menurutnya tepat dilakukan pemerintah, strategi yang sifatnya berkesinambungan.
Karena kebijakan pembatasan kegiatan menurutnya tidak cocok dilakukan di Indonesia. Selain berat bagi untuk pemerintah tapi juga untuk masyarakat Indonesia.
“Beban 3 T ini ada di pemerintah, sehingga kita bisa keluar dari situasi kritis,” ujarnya. (Larasati Diah Utami)