Di sisi lain ada 53 orang (14.1%) yang harus masuk rumah sakit. Jadi sekitar dua kali lipat lebih banyak. Selain data masuk RS, pada mereka yang tidak dapat molnupiravir ada 8 orang yang meninggal.
Sementara yang dari yang mendapat molnupiravir memang tidak ada yang meninggal sampai hari ke 29 penelitian ini dilakukan.
Sample penelitiannya adalah COVID-19 ringan dan sedang dengan onset gejala paling lama 5 hari. Tadinya pernah di rancang untuk 7 hari lalu diturunkan menjadi 5 hari.
"Hasil penelitian ini juga menunjukkan data pada 40% sampelnya bahwa efikasi Molnupiravir adalah konsisten pada berbagai varian yang ditemukan, yaitu Gamma, Delta, dan Mu," ungkapnya, Senin (5/10/2021).
Ia pun mengatakan kalau secara umum efek samping antara molnupiravir dengan plasebo yaitu 35% dan 40%. Sampel penelitian ini mempunyai setidaknya satu faktor risiko. Atau yang biasa kita kenal dengan komorbid.
"Yang paling sering adalah obesitas, diabetes mellitus, penyakit jantung dan juga usia tua untuk 60 tahun ke atas," kata Mantan Direktur WHO Asia Tenggara dan Mantan Dirjen P2P & Ka Balitbangkes itu.
Hasil interim uji klinik fase 3 ini kabarnya akan diproses untuk kemungkinan izin edar dalam bentuk Emergency Use of Authorization (EUA) ke BPOM Amerika Serikat (US-FDA). Nantinya institusi ini yang akan menilai semua data dan kelayakan yang ada.
Sebagai informasi dan untuk diketahui, pada bulan April 2021, uji klinik obat Molnupiravir ini pada pasien yang dirawat di rumah sakit dihentikan.
Karena tidak menunjukkan hasil yang baik pada pasien yang sudah masuk rumah sakit. Waktu bulan April itu diputuskan penelitian diteruskan hanya pada mereka yang belum masuk rumah sakit, yang hasilnya baru diumumkan 1 Oktober ini.