Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Tingginya kasus kasus aktif Covid-19 di Indonesia dalam beberapa pekan terakhir patut diwaspadai.
Varian Omicron yang memiliki daya tular lebih cepat dari varian-varian sebelumnya akan mereplace (mengganti) varian delta hampir di semua negara, termasuk Indonesia.
Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Genetik Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) dari Universitas Gadjah Mada (UGM), dr. Gunadi, Sp.BA., Ph.D., mengimbau masyarakat untuk tetap waspada karena transmisinya sangat cepat.
“Tetap waspada tetapi jangan berlebihan. Ini harus menjadi perhatian karena ada kemungkinan ia akan mereinfeksi terhadap mereka yang sudah vaksin full dosis, apalagi mereka yang rentan, lansia, manula, anak-anak dan mereka yang tidak vaksin," katanya seperti dikutip dari laman UGM.ac.id, Selasa (8/2/2022).
Baca juga: Di Tengah Melonjaknya Omicron, Airlangga Masih Optimistis Ekonomi Tumbuh hingga 5,6 Persen di 2022
Meski tidak seganas varian delta, tetap saja varian jenis baru ini dapat memberikan risiko pada mereka yang rentan, lansia, anak-anak, pasien dengan komorbid dan mereka yang tidak mendapatkan vaksin karena alasan kesehatan.
Diakui Gunadi kecepatan penularan varian Omicron 5 kali lebih menular dibanding varian delta.
Selain itu, varian Omicron memiliki kemampuan mereinfeksi pada pasien-pasien yang sudah divaksin maupun pasien-pasien penyintas.
Hal-hal itulah yang kemudian patut diwaspadai dan menjadi faktor utama varian omicron menguasai lebih cepat penyebarannya di Indonesia.
“Untuk mencapai jumlah yang sama, varian delta perlu berminggu-minggu, sementara varian omicron dalam hitungan hari. Sehingga mendekati benar jika kemungkinan puncak prediksi akan terjadi di akhir Februari sampai pertengahan Maret," ucapnya.
Sangat sulit mencegah mobilitas, dan riwayat perjalanan varian baru Omicron dan varian-varian sebelumnya.
Biasanya awalnya dari luar dan setelah masuk baru mengalami transmisi lokal serta sebagian besar pada umumnya mereka tidak bergejala (OTG).
“Tanpa disadari sudah terkena, tidak melalukan testing dan tracing, dan biasanya tidak ketahuan kalau dirinya membawa virus. Untuk Indonesia saat ini kecepatan penularan sudah dipastikan dari transmisi lokal," terangnya.
Meski jumlah terpapar Omicron meningkat dari hari ke hari, Gunadi menilai pemerintah atau Kementerian Kesehatan RI jauh lebih siap.
“Setidaknya kementerian kesehatan memang sudah menganjurkan untuk yang ringan atau tidak bergejala (OTG) sebaiknya diisolasi terpusat atau isolasi mandiri sehingga rumah sakit fokus untuk mereka yang kritis atau berat," urainya.
Sementara sebagai upaya pengendalian penularan yang cepat Gunadi menuturkan, pemerintah perlu mengambil kebijakan pembatasan sewaktu menghadapi gelombang varian Delta bisa dijadikan pertimbangan untuk pengendalian tingginya penularan varian omicron saat ini.
Artinya dengan mempertimbangkan aspek kesehatan dan aspek-aspek lain, perlu kiranya pemerintah mengambil langkah kebijakan sama seperti di saat menghadapi varian delta. Artinya aktivitas masyarakat betul-betul dibatasi agar varian omicron tidak menyebar secara cepat.
“Stop aktivitas beberapa minggu. Memang tidak langsung kelihatan, tetapi setelah beberapa bulan terlihat turun, dan itu perlu dilakukan kembali," papar Gunadi.
Menurut Gunadi bila dilihat gejalanya varian omicron memang lebih ringan dari delta. Dengan hospitalisasi tidak setinggi sewaktu delta bukan berarti pemerintah dan masyarakat abai.
Indonesia bisa belajar dari data yang terjadi di Amerika Serikat saat ini. Data di AS saat ini memperlihatkan hospitalisasinya jauh lebih tinggi dibanding saat varian delta.
”Di AS seperti itu, bagaimana dengan Indonesia? Sampai saat ini hospitalisasinya memang belum tinggi tapi jangan abai karena pengalaman beberapa negara termasuk Australia dan beberapa negara maju lainnya ternyata sudah terdampak dengan omicron, padahal sistem kesehatan mereka jauh lebih siap dibanding kita," imbuhnya.