Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Pakar Epidemiologi Griffith University, Dicky Budiman menyebutkan jika secara testing dan treasing, Indonesia bukan dalam kategori yang kuat.
"Terbukti dari selama setahun pandemi kita tidak masuk dalam empat atau lima perseribu populasi. Walau pun ada secara level provinsi, tapi nasional tidak," ungkapnya pada Tribunnews, Rabu (23/2/2022).
Itu menggambarkan bahwa kapasitas Indonesia memang relatif terbatas. Entah karena SDM, infrastruktur atau dari sisi finansial.
Baca juga: Aplikasi Pelacakan Kontak Covid-19 Malaysia Keliru Berikan Status Karantina kepada Beberapa Pengguna
Baca juga: Antisipasi Covid-19, Dinas Kesehatan Kota Medan Tingkatkan Tracing dan Testing
Hah ini yang menurut Dicky membuat Indonesia sejak April 2020 hingga sekarang menurut WHO masih dalam level komunitas transmisi.
Artinya kasus infeksi yang ditemukan di lapangan dengan ditemukan pemerintah memiliki Celah yang cukup besar.
"Itu akibat apa? Iya akibat testing dan treacing tidak memadai. Karena kalau memadai itu 4 atau lima orang, begitu. Kalau disebut satu orang perseribu dari populasi itu standar," kata Dicky menambahkan.
Sedangkan untuk deteksi kasus kontak erat atau treasing, standarnya satu orang positif maka harus ada pelacakan hingga 30 orang. Dan kata Dicky, hal ini belum terlaksana selama 2 tahun terahir,
"Tidak ada kabupaten dan kota yang melakukan itu. Saya pernah mengevaluasi itu dengan Kementerian Kesehatan, tidak ada. Kalau setengahnya ada, tapi 30 sesuai standar WHO. Apa lagi bicara Omicron, harus lebih dari 30 orang," tegasnya.
Sehingga tidak heran kalau kasus infeksi masyarakat jauh lebih banyak.
Karena kriteria standar dari WHO adalah pelacakan 30 kasus kontak dari satu kasus konfirmasi.
"Seharusnya yang dilacak 80 persen ditemukan dan 80 persen itu dalam 3x24 jam sudah masuk dalam program isolasi karantina. Itu tidak terjadi sampai sekarang," pungkasnya.