Capaian LTKL adalah membantu memberikan vaksin kepada masyarakat adat di tujuh kabupaten sebanyak delapan ribu dosis. Tujuh kabupaten itu: Banyuasin (Sumatera Selatan), Sanggau, Sintang, Kapuas Hulu (Kalimantan Barat), Sigi (Sulawesi Tengah), serta Gorontalo dan Bone Bolango (Gorontalo).
Epidemiolog dan peneliti dari Universitas Griffith, Australia, dr. Dicky Budiman, M.Sc.PH, menjelaskan subvarian XBB membahayakan karena menginfeksi masyarakat ketika kondisi mereka sedang rawan.
Konteksnya adalah kondisi sebagian besar penduduk yang belum memperoleh booster. Apalagi, anak-anak berusia di bawah 6 tahun belum boleh divaksin sama sekali.
“Vaksin booster masih menjadi PR karena belum terlaksana memadai, mentok di 27 persen. Ini berbahaya.Terutama risiko pada kelompok-kelompok rawan,” kata Dicky.
Dia menilai booster harus digenjot. Sebab, subvarian XBB muncul di tengah modal imunitas yang semakin tergerus. Dia menduga naiknya angka kematian kemungkinan besar dipicu kasus XBB.
Subvarian ini memiliki kemampuan menulari dan menerobos pertahanan tubuh yang telah terbentuk oleh vaksinasi maupun infeksi sebelumnya.
Kekhawatirannya bertambah karena subvarian ini menyerang kalangan muda, bahkan yang sempat tertular COVID-19 hingga dua kali. Kalau sudah begitu, kondisi mereka lebih rawan karena sudah seperti komorbid atau lansia yang daya tahan tubuhnya berkurang.
“Ketika modal imunitas yang dicapai dengan booster terlambat dilakukan, kemungkinan angka kematian bisa lebih tinggi,” ujarnya.
Untuk itu, Dicky berpesan pemerintah dan masyarakat perlu waspada. Metode 3 T harus kembali digalakkan: testing (menemukan kasus infeksi), tracing (menelusuri kasus), dan treatment (menindaklanjuti yang tertular). Masyarakat juga harus kembali menjalankan prosedur kesehatan secara ketat.Alhasil, jika ingin pandemi cepat selesai, perlu penanganan konsisten serta respons setara bagi semua daerah.
Jika tidak demikian, virus niscaya leluasa menginfeksi dan cepat beradaptasi dengan penanganan yang telah dilakukan. “Karena adanya subvarian baru ini akan sangat bergantung pada seberapa besar cakupan vaksinasi (booster) yang protektif di masyarakat,” ujarnya.
“Tapi, jika tetap abai dan prosedur kesehatan malah longgar dan modal imunitas tak tercapai, akhir pandemi bisa mundur. Bahkan bisa saja muncul hal buruk, lahirnya varian lain,” kata dia.(Willy Widianto)