TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Di kamp pengungsi Rohingya di Kutupalong, Distrik Cox's Bazar, Bangladesh, telepon Purmin berdering. Di ujung telepon, suaminya -yang merupakan pendatang gelap di di Malaysia- mengabarkan baru saja selesai bekerja di pasar ikan.
Obrolan ringan sehari-hari lewat telepon ini kelak tidak akan perlu lagi jika mereka nanti bisa berkumpul kembali di Malaysia. Begitulah mimpi mereka, jika ada biaya.
"Saya tinggal bersama tiga putra namun suami tinggal di Malaysia. Kami ingin sekali bertemu dengannya dan suami juga ingin berkumpul bersama anak-anak. Tapi ia tak punya cukup uang. Penghasilannya tak mencukupi jadi kami kekurangan uang untuk biaya hidup," ujar Purmin, ujar ibu yang berusia 30 tahun ini.
"Seandainya saja kami punya uang, kami akan menyusul ke Malaysia," ungkapnya di kamp pengungsi Kutupalong, salah satu konsentrasi kamp bagi pengungsi dan pendatang Rohignya yang tak punya dokumen di Bangladesh.
Mimpi pindah ke Malaysia itu bukan hanya milik Purmin semata.
Lathifa, tetangga Purmin di pengungsian, juga ingin menyusul suaminya yang bekerja di Kuala Lumpur, Malaysia.
"Saya ingin menyusul suami di Malaysia karena sudah tidak betah hidup berjejal di kamp tetapi tidak ada biaya. Suami tidak selalu dapat pekerjaan setiap hari," ujar Lathifa.
Sebagai pekerja gelap di Malaysia, hambatan suami kedua perempuan ini untuk membawa keluarga jelas bukan hanya soal biaya. Jika pun mereka berhasil menghimpun uang, mungkin tetap saja kesulitan mengurus perjalanan secara resmi ke Malaysia, yang merupakan negara penampung pengungsi Rohingya yang terbesar kedua di Asia, setelah Bangladesh, yang menerima setidaknya 400.000 orang.
Menurut Badan Pengungsi PBB (UNHCR) jumlah pengungsi Rohingya di Malaysia hingga akhir Mei 2017 mencapai 58.600, tetapi jumlah itu tidak termasuk mereka yang tidak terdaftar sebagai pengungsi.
'Tak mendapat bantuan'
Purmin dan Lathifa menuturkan kesulitan bertahan di kamp sebab mereka hanya mengandalkan uang kiriman dari suami. Purmin menerima sekitar Rp700.000 per bulan untuk menghidupi tiga putra serta ibunya.
Karena kiriman uang dari luar negeri itu pula, Purmin dan Lathifa mengaku tak mendapat bantuan apapun dari lembaga kemanusiaan. Prioritas bantuan disebutkan diberikan kepada mereka yang sama sekali tidak mempunyai anggota keluarga yang menopang pengungsi.
Purmin dan Lathifa termasuk sekitar 75.000 orang Rohingya yang masuk ke wilayah Bangladesh setelah pecah kekerasan terbaru pada Oktober 2016, ketika sekelompok pemuda Rohingya dengan bersenjata tajam menyerang pos-pos perbatasan di negara bagian Rakhine yang berbatasan dengan wilayah Bangladesh.