Tudingan itu ditepis keras oleh pemerintah Myanmar, yang menegaskan operasi militer dilakukan untuk melumpuhkan pergolakan yang dilancarkan oleh kelompok Rohingya dan memulihkan keamanan.
Operasi militer di Rakhine dinyatakan berakhir pada Februari akan tetapi sampai sekarang akses ke daerah yang terdampak, Maungdaw dan sekitarnya, masih dinyatakan tertutup.
Mimpikan perdamaian
Bagi Purmin, ibu tiga putra ini, pulang ke Myanmar bukanlah pilihan kecuali pemerintah Myanmar bersedia mengakui hak-haknya sebagai warga negara dan menjamin keselamatannya.
"Militer Burma (Myanmar) menyiksa orang-orang Muslim dan oleh karena itu saya lari ke Bangladesh. Jika situasinya membaik, saya ingin pulang ke Burma karena itulah negara saya. Untuk sekarang, saya hanya mendambakan kehidupan yang damai entah itu di Bangladesh atau Burma," ujarnya.
Otoritas Myanmar menegaskan aparat keamanan ingin melumpuhkan orang-orang yang disebut 'teroris', sebutan bagi orang-orang Rohingya atau orang-orang Muslim yang dituduh melakukan perlawanan.
Di Bangladesh orang Rohingya seperti Purmin dan Lathifa diperlakukan sebagai pengungsi, sementara Myanmar juga tidak menganggap umat Islam Rohingya sebagai warga negara namun sebagai pendatang dari Bangladesh.
Pemerintah Myanmar memang tidak memasukkan Rohingya ke dalam daftar 135 etnik yang diakui berdasarkan undang-undang kewarganegaraan tahun 1982, yang antara lain terdiri dari kelompok-kelompok etnik besar, seperti Bamar, Chin, Kachin, Rakhine, maupun Shan.
Mereka diyakini dibawa ke wilayah Rakhine, Myanmar, oleh penjajah Inggris sebelum 1942. Oleh karenanya Myanmar tak pernah mau menyebut mereka Rohingya tetapi cukup dengan sebutan komunitas Muslim atau orang-orang Bengali.