Pengacara terdakwa, Eugene Thuraisingam ,mengatakan, nenek Ridzuan yang berprofesi sebagai petugas kebersihan sempat menyebutnya "bodoh".
Sementara pamannya mengaku tidak bisa memahami si pelaku karena dia sering berbicara cepat dan kalimatnya sukar dipahami.
Namun, saat hakim menanyakan apakah faktor itu berasal dari fungsi adaptifnya, Leung dengan tegas menyatakannya tidak.
"Jika itu yang dijadikan patokan, tentunya ada cukup banyak orang yang bisa dikategorikan rendaha dalam hal fungsi adaptif," terangnya.
Thuraisingam menunjukkan masa kecil Ridzuan yang lain.
Seperti fakta bahwa dia tidak terlalu bagus dalam mata pelajaran SD.
Sebaliknya, dia malah "bangga" jika mendapat nilai nol di ujian.
Dia disebut cenderung menghindari tugas yang dia tidak suka.
"Kemudian dia sering membolos, lebih suka bermain di sebuah geladak, serta meminta bibinya untuk mengerjakan PR-nya," ujar Thuraisingam.
Jika bibinya tidak bisa menyelesaikannya, maka Ridzuan akan memukul tangan sang bibi menggunakan penggaris.
Leung kemudian menjawab dia akan menanyai Ridzuan mengapa dia "bangga" ketika mendapat nilai nol di sekolah.
Tak hanya itu, Leung menyebut ada banyak alasan mengapa Ridzuan tidak pandai.
Namun, Leung memberikan prediksi bahwa "kegembiraan" si ayah kemungkinan berasal dari ibu maupun neneknya yang sering tidak memerhatikannya.
Jika nantinya terbukti secara sengaja menyiksa si anak hingga tewas, Ridzuan terancam menghadapi hukuman mati, atau seumur hidup dengan dicambuk.
(KOMPAS.com/Ardi Priyatno Utomo)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Siksa Anaknya yang Berusia 5 Tahun hingga Tewas, Terungkap Kecerdasan Si Ayah Rendah"