Dirinya harus tinggal di rumah dan melakukan kegiatan kuliah secara daring.
"Biasanya saya keluar rumah untuk bertemu teman, kuliah dan pergi makan, kali ini harus kuliah secara online dan aneh rasanya, meski para dosen bersedia untuk video call situasi ini tidak normal," kata Jeannette kepada wartawan BBC News Indonesia, Silvano Hajid, melalui sambungan telepon, Rabu (11/03).
Persediaan makanan yang ia butuhkan masih cukup hingga dua pekan ke depan meski sesekali pergi ke pusat perbelanjaan terdekat dari rumahnya.
"Ada aturan yang ketat ketika berbelanja, kami harus menjaga jarak minimal satu meter antar pengunjung," tambah Jeannette.
Jeannette menerima 'kedaan tidak normal' ini dengan mengikuti arahan pemerintah setempat, karena dia percaya lonjakan jumlah kasus Covid-19 dalam satu pekan terakhir terjadi karena banyak orang di kotanya abai dengan imbauan yang telah diberikan, yakni dilarang berkumpul di tempat umum.
Dirinya dan kebanyakan WNI di Milan, Italia telah berkoordinasi dengan pihak KBRI, melalui grup dalam aplikasi WhatsApp.
"Sejauh ini belum ada WNI yang melaporkan mengalami gejala terjangkit virus itu, dari banyaknya update yang kami berikan, kebanyakan melaporkan bahwa rumah sakit mulai penuh."
Jumlah korban meninggal dunia akibat wabah virus corona di Italia melonjak dari 133 orang menjadi 366 orang dalam sehari.
Jumlah total orang yang terinfeksi pun naik 25%, dari 5.883 kasus menjadi 7.375 kasus.
Angka-angka ini menjadikan Italia sebagai negara dengan kasus virus corona terbanyak di luar China, sejak virus itu menjalar pada Desember 2019.
Lonjakan ini terjadi di tengah langkah drastis yang ditempuh Italia guna mengendalikan penyebaran Covid-19.
Perdana Menteri Italia, Giuseppe Conte, mengatakan setidaknya 16 juta orang di wilayah Lombardy dan 14 provinsi lainnya harus memperoleh izin khusus bepergian dalam aturan karantina.
Langkah itu dibarengi dengan penutupan sekolah, pusat kebugaran, kolam renang, kelab malam, museum dan resor ski di seantero Italia.