Sementara ini seorang karyawan senior di pabrik tersebut sudah diamankan pihak berwenang.
Baca: Peringati Hari Pancasila, KBRI Moskow Gelar Dialog Virtual dengan Mahasiswa
Baca: Uniknya Rusa Kutub di Norwegia, Warna Matanya Bisa Berubah Seiring Pergantian Musim
Saat pemerintah masih mencari penyebab pasti kebocoran, Wakil Presiden dan Kepala Operasi Perusahaan, Sergey Dyachenko, mengaitkan kebocoran solar ini dengan suhu yang tidak pasti.
"Kami dapat berasumsi bahwa suhu yang tidak normal dapat menyebabkan pencairan lapisan es yang mengakibatkan penurunan sebagian dukungan tangki," kata Dyachenko.
Permafrost atau lapisan tanah beku di wilayah Arktik, Rusia lebih cepat mencair karena pemanasan global.
Ini menyebabkan kerusakan pada bangunan di Norilsk dan kota-kota sekitarnya.
World Wildlife Fund menilai pencemaran ini adalah kecelakaan terbesar kedua dalam sejarah Rusia sejak insiden yang sama di barat laut Komi pada 1994.
Sementara itu, Greenpeace membandingkannya dengan bencana Exxon Valdez 1989 di Alaska, ketika sekitar 36.000 ton minyak tumpah di perairan laut.
"Ini bencana skala global - salah satu yang terburuk yang terjadi di Kutub Utara," kata seorang pakar Greenpeace Russia, Vasily Yablokov.
Baca: Media Israel: Iran, Turki, China, dan Rusia Happy Amerika Serikat Dilanda Kerusuhan
Baca: Rusia Dapat Bocoran, China dan India Sudah di Ambang Perang, Perbatasan Kedua Negara Makin Tegang
Dia mengatakan dampak kebocoran solar tersebut bergantung pada seberapa cepat tim menangani penyebaran minyak ini.
Ahli lingkungan memperingatkan akan butuh bertahun-tahun bagi lingkungan untuk pulih.
"Norilsk telah menjadi zona bencana lingkungan dan kecelakaan itu dapat memperburuk situasi di sana," kata Yablokov.
Norilsk merupakan kota terpencil dan tertutup bagi orang asing di dalam Lingkaran Arktik.
Perkotaan dan tambangnya dibangun oleh Uni Soviet dengan menggunakan tenaga kerja tahanan Gulag.
Dalam sejarah modern, kota ini dikenal sebagai satu diantara kota paling tercemar di dunia karena emisi kompleks metalurgi.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)