Pada Februari, Chen Qiushi yang melakukan video streaming dari Wuhan selama penguncian kota serta memposting laporan di media sosial menghilang.
Pada September, dia dilaporkan berada di bawah pengawasan negara.
Dua jurnalis independen lainnya, Li Zehua dan Fang Bin juga ditahan menyusul liputan mereka tentang wabah Wuhan.
"Dengan kedok memerangi virus korona baru, pihak berwenang di China telah meningkatkan penindasan secara online dengan memblokir pelaporan independen, berbagi informasi, dan komentar kritis atas tanggapan pemerintah," kata Pembela Hak Asasi Manusia China, kelompok yang berbasis di Hong Kong.
Baca juga: Brasil dan Turki Umumkan Hasil Uji Coba Vaksin Sinovac Buatan China, Ini Hasilnya
Baca juga: WHO Kirim 10 Ilmuwan Internasional ke China untuk Selidiki Asal-usul Virus Corona di Wuhan
China adalah penjara jurnalis terbesar di dunia, menurut Reporters Without Borders (RSF).
Negara ini sangat ketat mengontrol pers dalam negeri sambil memblokir sebagian besar media asing melalui Great Firewall, alat sensor dan pengawasan online yang luas.
Pada Maret silam, China mengusir wartawan dari New York Times, Washington Post, dan Wall Street Journal.
Ini merupakan tindakan yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap pers asing.
Beijing mengatakan, tindakan tersebut merupakan balasan atas sikap AS kepada media asal China di sana.
Meskipun kini pandemi Covid-19 telah melunak di China, Beijing tetap menetapkan pembatasan kepada pers.
Saat ini media pemerintah China mulai mendorong cerita mengenai asal-usul pandemi secara agresif, dengan klaim bahwa virus itu mungkin beredar di luar negeri sebelum masuk ke Wuhan.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)