Htet Htet Hlaing, 22 tahun, mengatakan dia takut dan telah berdoa sebelum bergabung dengan demonstrasi Senin, tetapi tidak akan berkecil hati.
"Kami tidak ingin junta, kami ingin demokrasi. Kami ingin menciptakan masa depan kami sendiri," tegasnya.
"Ibu saya tidak menghentikan saya untuk keluar, dia hanya berkata 'berhati-hatilah'."
Beberapa negara Barat telah mengutuk kudeta dan mengecam tindakan kekerasan terhadap demonstran.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengatakan di Twitter, Amerika Serikat akan terus "mengambil tindakan tegas" terhadap tindakan keras pihak berwenang terhadap lawan kudeta di negara Asia Tenggara itu.
"Kami berdiri bersama rakyat Myanmar," katanya.
Inggris, Jerman, Jepang, dan Singapura juga telah mengutuk kekerasan itu dan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan kekerasan mematikan tidak dapat diterima.
Penduduk di Yangon mengatakan jalan menuju beberapa kedutaan, termasuk kedutaan AS, diblokir pada Senin (22/2/2021).
Misi diplomatik telah menjadi titik pengumpulan bagi para demonstran yang menyerukan intervensi asing.
Utusan khusus PBB tuntuk hak asasi manusia ke Myanmar, Tom Andrews, mengatakan dia sangat prihatin dengan peringatan junta kepada para demonstran.
"Tidak seperti 1988, tindakan oleh pasukan keamanan sedang direkam dan Anda akan dimintai pertanggungjawabannya," katanya di Twitter.
Militer merampas kekuasaan setelah dugaan kecurangan dalam pemilu 8 November yang dimenangkan mutlak oleh Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD Suu Kyi).
Suu Kyi dan banyak pemimpin NLD ditahan sejak 1 Februari lalu.
Komisi pemilihan umum menolak tudingan junta militer terkait kecurangan pemilu.
Asosiasi Bantuan Myanmar untuk Tahanan Politik mengatakan 640 orang telah ditangkap, didakwa atau dijatuhi hukuman sejak kudeta - termasuk mantan pejabat pemerintah dan penentang pengambilalihan tentara.(Reuters)