TRIBUNNEWS.COM - Presiden Recep Tayyip Erdogan diperkirakan akan bertemu rekan-rekannya dari Ukraina-Rusia dalam beberapa minggu mendatang.
Dilansir Al Jazeera, Turki berharap dapat membantu meredakan ketegangan antara sekutu NATO-nya.
"Turki siap melakukan apa pun yang diperlukan untuk mengindari perang," kata Erdogan pada Rabu malam (26/1/2022), dalam wawancara yang disiarkan televisi.
"Saya berharap Rusia tidak akan melakukan serangan bersenjata atau menduduki Ukraina," ucapnya.
Baca juga: PM Inggris Boris Johnson akan Telepon Putin untuk Hentikan Invasi Rusia ke Ukraina
Baca juga: Jerman Usir Mata-mata Rusia yang Menyamar Jadi Diplomat
Menurutnya, langkah seperti itu bukanlah tindakan bijaksana bagi Rusia.
Selama berbulan-bulan, Ankara telah menyerukan NATO dan Rusia untuk mengurangi retorika mereka.
Erdogan sering bertemu dan berbicara melalui telepon dengan Putin.
Pada hari Kamis (27/1/2022), juru bicara Kremlin Dmitry Peskov mengatakan pemimpin Rusia itu siap untuk mengunjungi Turki.
Baca juga: POPULER Internasional: Rekor Uji Coba Rudal Korea Utara | Rusia Disebut Invasi Ukraina pada Februari
Baca juga: Joe Biden Peringatkan Presiden Ukraina Soal Invasi Rusia yang Mungkin Terjadi Februari
Sementara itu, Erdogan sudah dijadwalkan untuk mengunjungi Kyiv sekitar bulan Februari, untuk bertemu dengan Presiden Voldomyr Zelenskyy.
Rusia telah menempatkan sekitar 100.000 tentara di dekat perbatasan Ukraina .
Aksi itu menimbulkan kekhawatiran di antara anggota NATO bahwa Putin sedang merencanakan serangan.
Moskow mengatakan tidak memiliki rencana untuk meluncurkan invasi semacam itu.
Sebaliknya telah meminta NATO untuk mencegah Ukraina bergabung dengan aliansi.
Baca juga: Mata Uang Turki Kembali Menguat Setelah Drop Akibat Pernyataan Erdogan
Baca juga: Erdogan Gambarkan Media Sosial sebagai Ancaman Bagi Demokrasi, Akan Susun Undang-undang Baru
Turki berinvestasi dalam industri pertahanan Ukraina, setelah menjualnya drone Bayraktar TB2 mulai 2019 kemarin.
Senjata tersebut dikerahkan dan digunakan Kyiv untuk menyerang pasukan pro-Rusia di Donbas dalam beberapa bulan terakhir.
Turki juga secara ekonomi bergantung pada Rusia, dengan jutaan turis Rusia membawa mata uang asing yang sangat dibutuhkan setiap tahun ke negara itu, dan Ankara sangat bergantung pada gas alam dari pemasok Rusia.
Baca juga: Klaim Rusia Siap Serang Ukraina, Amerika Serikat Minta Dewan Keamanan PBB Bersikap
Awal Mula Konflik Rusia-Ukraina
Ukraina merupakan bagian dari Kekaisaran Rusia selama berabad-abad sebelum menjadi Republik Uni Soviet dan merdeka saat Uni Soviet bubar pada 1991.
Dilansir Al Jazeera, sejak saat itu Ukraina menjalin hubungan dekat dengan Barat dan melepaskan warisan Kekaisaran Rusia.
Pada 2014, terjadi kerusuhan besar yang disebut Revolution of Dignity di Ukraina karena mantan Presiden Viktor Fedorovych menolak perjanjian asosiasi dengan Uni Eropa demi hubungan yang lebih dekat dengan Moskow.
Ini menyebabkan protes besar-besaran untuk menggulingkan Fedorovych dari jabatannya.
Baca juga: Presiden AS Joe Biden Ancam Sanksi Pribadi Terhadap Presiden Rusia Vladimir Putin Terkait Ukraina
Baca juga: Situasi Memanas, Ini Akar Konflik Ukraina dan Rusia hingga NATO Kirim Bantuan
Menanggapi hal ini, Rusia kemudian mencaplok Semenanjung Krimea di Ukraina dan mendukung kelompok pemberontak separatis di timur Ukraina.
Ukraina dan Barat menuduh Rusia mengirim pasukan dan senjata untuk mendukung pemberontak, namun Moskow berdalih warga Rusia yang bergabung dengan separatis adalah simpatisan.
Menurut Kyiv, lebih dari 14.000 orang tewas dalam pertempuran yang menghancurkan Donbas, jantung industri timur Ukraina.
Sementara itu, Moskow mengecam keras AS dan sekutu NATO-nya karena menyediakan senjata bagi Ukraina dan mengadakan latihan bersama.
Berita lain terkait dengan Konflik Rusia
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani/Ika)