TRIBUNNEWS.COM - NATO akhirnya merespons serangan Rusia kepada Ukraina di hari ketiga invasi.
Kepala NATO, Jens Stoltenberg mengatakan akan menerjunkan pasukan untuk pertama kalinya demi memperkuat pertahanan Ukraina dari invasi Rusia.
"Ini masih situasi yang cair. Apa yang telah kita lihat adalah bahwa pasukan Ukraina bertempur dengan berani dan benar-benar mampu menimbulkan kerusakan pada pasukan Rusia yang menyerang," kata Stoltenberg setelah pertemuan dengan para pemimpin NATO, pada Jumat (25/2/2022), dikutip dari CNA.
"Ini adalah invasi penuh ke Ukraina. Mereka bergerak menuju Kyiv dan tujuannya adalah untuk mengubah pemerintah Ukraina," tambahnya.
Stoltenberg memperingatkan bahwa invasi Rusia ini telah mengancam keamanan Eropa yang lebih luas di luar anggota non-NATO Ukraina.
Untuk itu, pasukan NATO dan kekuatan udara diterjukan di sisi timur Ukraina.
Dia mengatakan sekutu juga telah mengaktifkan rencana pertahanan.
Ribuan tentara NATO bahkan sudah bersiaga di darat, laut dan udara.
"Kami telah memperkuat pencegahan dan pertahanan kami," kata Stoltenberg.
"Kemarin, sekutu mengaktifkan rencana pertahanan kami dan sebagai hasilnya, kami mengerahkan elemen Pasukan Respons NATO (NRF) di darat, di laut, dan di udara untuk lebih memperkuat postur kami dan untuk merespons dengan cepat segala kemungkinan," jelasnya.
Langkah tersebut adalah yang terbaru oleh NATO dengan tujuan meningkatkan pertahanannya.
Terlebih setelah sekutu yang dipelopori Amerika Serikat mengirimkan ribuan tentara ke anggota timur saat Rusia bergerak ke Ukraina.
"Kami memiliki lebih dari 100 jet dalam siaga tinggi, beroperasi di lebih dari 30 lokasi berbeda dan lebih dari 120 kapal dari utara hingga Mediterania," kata Stoltenberg.
"Ini untuk menjaga perdamaian untuk mencegah serangan dan untuk mencegah perang yang terjadi di Ukraina meluas ke negara sekutu NATO mana pun," tegasnya.
Baca juga: Pengamat: NATO Tidak Akan Terburu-buru Melibatkan Diri Dalam Pertikaian Rusia-Ukraina
Dia tidak memberikan perincian tentang ke mana pasukan tersebut dikirim.
Menurutnya, hal itu terserah komandan militer tertinggi NATO.