TRIBUNNEWS.COM - Senator AS dari Partai Republik, Lindsey Graham banjir kecaman setelah meminta seseorang di lingkaran dalam Presiden Vladimir Putin untuk membunuhnya.
Dilansir BBC, Lindsey Graham mengatakan satu-satunya cara invasi Rusia ke Ukraina berakhir adalah "seseorang di Rusia membawa orang ini (Putin) keluar".
Dalam cuitannya, Republikan ini secara blak-blakan bertanya apakah Rusia memiliki 'Brutus' yang dapat mengalahkan Putin dan mengakhiri perang.
"Apakah ada Brutus di Rusia? Apakah ada Kolonel Stauffenberg yang lebih sukses di militer Rusia?" cuit senator ini.
Brutus adalah politikus Romawi yang membunuh Julius Caesar.
Baca juga: Singapura Umumkan Sanksi Terhadap Rusia: Larangan Ekspor hingga Bekukan Empat Bank
Baca juga: Jenderal Rusia Andrei Sukhovetsky Tewas Ditembak Sniper Ukraina, Pukulan Telak untuk Putin
Sementara Kolonel Claus von Stauffenberg adalah tentara Jerman yang dikenal karena berusaha membunuh Adolf Hitler pada 1944.
Komentar Graham ini membuat marah Duta Besar Rusia untuk AS.
Anatoly Antonov menilai senator dari Carolina Selatan ini keterlaluan.
"Sulit dipercaya bahwa seorang senator suatu negara yang mengkhotbahkan nilai-nilai moralnya sebagai 'bintang pemandu' bagi seluruh umat manusia dapat melakukan seruan terhadap terorisme sebagai cara untuk mencapai tujuan Washington di arena internasional," kata Antonov.
Selain menyerukan pembunuhan, Graham juga mendorong masyarakat Rusia untuk menggulingkan pemerintahannya.
"Kecuali jika Anda ingin hidup dalam kegelapan selama sisa hidup Anda, terisolasi dari seluruh dunia dalam kemiskinan, dan hidup dalam kegelapan, Anda perlu melangkah maju," cuitnya.
Dalam konferensi pers Jumat (4/3/2022) lalu, Sekretaris Pers Gedung Putih Jen Psaki mengutuk pernyataan Graham.
"Itu bukan posisi pemerintah Amerika Serikat dan tentu saja bukan pernyataan yang akan Anda dengar dari mulut siapa pun yang bekerja di pemerintahan ini," jawab Psaki.
Ketika ditanya apakah Presiden Joe Biden memiliki pandangan yang sama dengan Graham, Psaki kembali mengutuk gagasan itu.
Dia mengatakan Biden percaya ada solusi damai untuk invasi yang sedang berlangsung jika Putin memulainya.
"Presiden yakin akan terus ada jalur diplomatik ke depan," kata Psaki.
Psaki mengatakan koridor kemanusiaan atau gencatan senjata akan menjadi langkah yang disambut baik oleh pemerintah AS jika Putin setuju.
"Tapi tidak, kami tidak menganjurkan untuk membunuh pemimpin negara asing atau perubahan rezim," lanjutnya.
"Itu bukan kebijakan Amerika Serikat."
Komentar kontroversial dari Graham juga membuat gusar juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov.
"Tentu saja, akhir-akhir ini tidak semua orang berhasil mempertahankan pikiran yang sadar, saya bahkan akan mengatakan pikiran yang sehat," katanya, menyerukan persatuan nasional dari Rusia.
Publik bereaksi serupa dengan sejumlah pejabat tinggi tersebut.
Dilaporkan Newsweek, di Twitternya sejumlah orang meminta Graham untuk mengundurkan diri atas pernyataan itu.
Saat invasi Rusia ke Ukraina berlanjut, sejumlah tokoh konservatif AS yang sebelumnya memuji Vladimir Putin dihadapkan pada situasi yang rumit.
Baca juga: Beda dengan Biden, Donald Trump Justru Puji Langkah Putin Akui Kemerdekaan Donetsk dan Luhansk
Baca juga: PROFIL Andrei Sukhovetsky, Jenderal Top Rusia yang Tewas Ditembak Sniper Ukraina
Selama bertahun-tahun, Putin menikmati dukungan dari koalisi pejabat Republik terpilih, pemimpin Kristen konservatif, dan pembawa acara televisi sayap kanan, yang pujiannya berkisar dari kecerdasannya hingga posisi garis kerasnya terhadap ide-ide budaya progresif.
Sebelum invasi, mantan Presiden AS Donald Trump bahkan sempat memuji langkah Putin mengakui dua wilayah separatis Ukraina sebagai cerdas.
Tetapi Trump mengubah nadanya setelah invasi, mengambil sikap yang lebih keras terhadap tindakan Putin.
"Serangan Rusia ke Ukraina sangat mengerikan," katanya dalam pidato di Konferensi Aksi Politik Konservatif pada 26 Februari.
"Kami berdoa untuk orang-orang yang bangga di Ukraina. Tuhan memberkati mereka semua," ujar Trump.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)