Sekalipun secara kekuatan politik relatif, Indonesia masih kalah dari Rusia, akan tetapi menurutnya Indonesia tetap mempunyai peluang untuk menjadi mediator dan salah satu titik kuncinya adalah penerimaan dari dua pihak yang bertikai.
Sikap pemimpin Ukraina dan Rusia yang menerima kunjungan Jokowi, kata dia, merupakan signal awal penerimaan Indonesia sebagai potensial mediator.
Walaupun sebenarnya, lanjut dia, posisi Jokowi juga tidak dapat dipisahkan sebagai anggota Champion Group of the Global Crisis Response Group (GCRG) yang dipimpin Sekjen PBB Antonio Gutteres.
"Bersama lima pemimpin dunia lainnya yaitu, Presiden Senegal, Kanselir Jerman, Perdana Menteri Barbados, Perdana Menteri Denmark, dan Perdana Menteri Bangladesh, GCRG memang mencoba untuk mendorong konsensus global serta melakukan advokasi solusi guna atasi krisis pangan, energi dan keuangan global," kata dia.
Baca juga: Usai Bertemu Vladimir Putin, Presiden Jokowi Bertolak ke Abu Dhabi
Perihal apakah saat ini momen yang tepat untuk mendorong adanya perundingan damai, menurutnya sejauh ini, baik Rusia maupun Ukraina belum berada pada posisi hurting stalemate dimana eskalasi konflik tinggi sehingga keduanya sama-sama merasa lelah dengan konflik bersenjata.
Di sisi lain, kata dia, ripe moment atau masa yang 'matang' untuk memaksa kedua belah pihak duduk di meja perundingan juga belum terbentuk.
Meski demikian, kata Anton, peluang untuk terjadinya perundingan damai tetap dapat terjadi.
"Dan, salah satunya adalah melalui pendekatan yang intensif kepada para pihak bertikai untuk mau duduk berunding. Dan Jokowi punya kans untuk memainkan peranan itu. Tinggal sejauh mana kesiapan dan keseriusan Indonesia untuk menawarkan diri sebagai mediator perundingan damai," kata Anton.