TRIBUNNEWS.COM - Pasukan junta Myanmar dilaporkan melakukan kejahatan perang dengan menyebarkan ranjau darat dalam skala besar.
Menurut Amnesty International pada Rabu (20/7/2022), junta memasang jebakan ranjau itu di desa-desa tempat para pejuang anti-kudeta.
Dengan kudeta yang sudah berjalan satu tahun, bentrokan kini terjadi antara junta melawan kelompok etnis anti-kudeta dan Pasukan Pertahanan Rakyat.
Selama kunjungan ke negara bagian Kayah dekat perbatasan Thailand, peneliti Amnesty International mewawancarai para penyintas ranjau darat, paramedis, dan pihak yang terlibat dalam pembersihan.
Menurut informasi terpercaya, militer Myanmar menyebarkan ranjau di setidaknya 20 desa, termasuk jalan menuju sawah.
Ini mengakibatkan warga sipil mengalami cedera hingga tewas.
Baca juga: Pemimpin Junta Myanmar Beberapa Kali Kunjungi Rusia, tapi Belum Pernah Jumpa Putin
Dikutip dari France24, Amnesty mengaku telah mendokumentasikan beberapa contoh di mana militer meletakkan ranjau di sekitar gereja dan di halamannya.
"Tentara menempatkan ranjau darat di halaman orang, di pintu masuk rumah, dan di luar toilet," kata Amnesty.
"Dalam setidaknya satu kasus yang terdokumentasi, tentara menjebak sebuah tangga rumah dengan alat peledak improvisasi trip-wire."
Kelompok anti-junta berusaha menggali lokasi ranjau ditanam, namun berisiko karena dilakukan hanya dengan tangan kosong dan tanpa pelatihan.
"Kami tahu dari pengalaman pahit bahwa kematian dan cedera warga sipil akan meningkat seiring waktu, dan kontaminasi yang meluas telah menghalangi orang untuk kembali ke rumah dan lahan pertanian mereka," kata Rawya Rageh, penasihat krisis senior kelompok tersebut.
Dari penyelidikan di Kayah, Amnesty menemukan bahwa militer menggunakan beberapa jenis ranjau darat, termasuk M-14.
Dilansir Al Jazeera, jenis ini dapat meledakkan kaki korban hingga pergelangan kaki.
Kemudian ada juga jenis MM-2, yang mampu meledakkan kaki di bagian lutut dan menyebabkan luka pada bagian lain di tubuh korban.
Myanmar tidak mengikuti konvensi PBB yang melarang penggunaan, penimbunan, atau pengembangan ranjau anti-personil.
Militernya telah berulang kali dituduh melakukan kekejaman dan kejahatan perang selama beberapa dekade konflik internal.
Kekerasan militer terhadap minoritas Rohingya pada tahun 2017, mengakibatkan sekitar 750.000 orang melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh.
Seiring dengan itu, muncul laporan pemerkosaan, pembunuhan, hingga pembakaran terhadap Rohingya.
Pada Maret lalu, AS menyatakan kekerasan terhadap Rohingya sama dengan genosida.
Gambia menyeret Myanmar ke Mahkamah Internasional pada 2019, menuduh negara mayoritas Buddha itu melakukan genosida terhadap minoritas Muslim.
Pengadilan yang berbasis di Den Haag itu akan memberikan penilaiannya atas keberatan awal Myanmar terkait kasus tersebut akhir pekan ini.
Baca juga: Menlu RI: Krisis di Myanmar Buat Penanganan Orang Rohingya Jadi Lebih Menantang
Baca juga: Ledakan Bom Terjadi di Dekat Pusat Perbelanjaan Yangon Myanmar, 2 Orang Tewas dan 11 Luka-luka
Myanmar terjerumus ke dalam krisis, setelah militer merebut kekuasaan dalam kudeta pada Februari 2021.
Pemerintah Aung San Suu Kyi digulingkan dan militer melancarkan tindakan keras terhadap publik.
Sejak saat itu, Myanmar terus diguncang protes massa dan perlawanan bersenjata oleh warga sipil yang kontra terhadap militer.
Bahkan insiden ini juga membangkitkan banyak konflik yang telah berlangsung lama dengan kelompok etnis bersenjata di daerah perbatasan negara itu.
Berdasarkan catatan kelompok pemantau lokal, kekerasan junta telah menewaskan lebih dari 2.000 orang dan membuat hampir 15.000 orang ditangkap.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)