Rusia sebelumnya telah mencaplok Krimea dari Ukraina pada tahun 2014 dan mendukung kelompok separatis yang membentuk Republik Rakyat Donetsk dan Luhansk (DPR dan LPR) di Donbas.
HIMARS Sulitkan Rusia
HIMARS (Sistem Artileri Roket Mobilitas Tinggi M142), yang dipasok AS kepada Ukraina cukup menyusahkan pergerakan pasukan Rusia di Donbas.
Dilansir CNN, HIMARS mendukung kemampuan militer Ukraina untuk menjatuhkan target Rusia.
Awal bulan ini, terjadi ledakan besar di sejumlah wilayah yang diduduki Rusia di wilayah Donetsk, Luhansk, Zaporizhzhia dan Kherson.
Berdasarkan citra satelit dan analis Barat, itu merupakan hasil penargetan yang efektif menggunakan senjata canggih ini.
Pejabat Kyiv pun terus menyerukan agar AS memasok lebih banyak HIMARS.
Menlu Rusia, Sergey Lavrov, mengancam akan memperluas tujuan geografis Rusia di Ukraina jika Barat terus memberikan senjata jarak jauh seperti itu.
"Kami tidak dapat membiarkan senjata apa pun di bagian Ukraina yang dikendalikan oleh Zelensky atau siapa pun yang akan menggantikannya yang menimbulkan ancaman langsung ke wilayah kami atau wilayah republik yang mendeklarasikan kemerdekaan atau mereka yang ingin menentukan masa depan mereka secara independen," kata Lavrov.
"Presiden sangat jelas, seperti yang Anda kutip: denazifikasi dan demiliterisasi dalam arti bahwa tidak boleh ada ancaman terhadap keamanan kami, tidak ada ancaman militer dari wilayah Ukraina, dan tujuan ini tetap ada," kata Lavrov.
Baca juga: Perang Rusia-Ukraina Ganggu Pasokan Gandum, Harga Mie Instan Bisa Naik, Ini Kata Direktur Indofood
Baca juga: Berpidato di Kongres AS, Ibu Negara Ukraina Minta Lebih Banyak Bantuan Senjata
Lavrov juga mengatakan bahwa saat ini "tidak ada gunanya" mengadakan pembicaraan dengan Ukraina, dalam sebuah wawancara dengan media Russia Today pada Rabu.
Dia menuduh Barat mendorong Ukraina untuk menahan diri dari negosiasi, sampai dapat "berbicara dari posisi yang kuat."
Lavrov mengklaim Rusia telah siap untuk mencapai kesepakatan dengan Ukraina, tetapi tidak ada hasil.
"Kami menyerahkan mereka sebuah dokumen yang, saya tekankan lagi, didasarkan pada logika mereka," kata Lavrov dalam wawancara yang dipublikasikan di situs Kementerian Luar Negeri Rusia.
"Mereka mendapatkan dokumen ini pada 15 April, dan kami tidak mendengar apa pun dari mereka sejak itu," ujarnya.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)