TRIBUNNEWS.COM, BEIJING - Senat AS pada Rabu (27/7/2022) meloloskan Rancangan Undang-undang Chip yang dimaksudkan melawan kebangkitan teknologi tinggi Cina.
RUU Chip itu lahir berkedok menopang daya saing AS dan melindungi keamanan nasional. Usaha AS itu oleh para pengamat Cina dianggap percuma.
Media Global Times, Kamis (28/7/2022) dalam laporannya menyebutkan, UU itu nantinya kemungkinan akan memutus mata rantai (supply chain) ke industri Cina.
Sejumlah negara produsen semikonduktor membuat isyarat simbolis mengikuti perintah AS tetapi menunda tindakan nyata, seperti mendirikan pabrik di AS.
Baca juga: KSP: Kunjungan Jokowi ke China, Jepang, dan Korea Tunjukkan Bahwa Indonesia Mitra Strategis Dunia
Baca juga: Sri Lanka Minta Bantuan China untuk Perdagangan, Investasi, dan Pariwisata
Baca juga: AS Kuasai 50 Persen Penjualan Semikonduktor Dunia, Jepang Kuasai 56 Persen Bahan Dasar Semikonduktor
Sebab, apa yang didorong AS berjalan bertentangan dengan manfaat nyata bisnis mereka.
RUU itu sesungguhnya memang bertujuan meningkatkan produksi semikonduktor AS. Selanjutnya RUU akan diteruskan ke DPR dan Presiden AS Joe Biden untuk disetujui.
Paket UU yang dikenal sebagai "CHIPS-plus," mencakup sekitar $52 miliar pendanaan untuk perusahaan AS yang membuat chip computer.
UU itu menawarkan kredit pajak untuk investasi dalam produksi chip, serta pendanaan untuk memacu inovasi dan pengembangan teknologi AS lainnya.
Niat sebenarnya untuk menahan perkembangan Cina tidak dapat disembunyikan jika dilihat dari persyaratan RUU bagi perusahaan untuk memilih hanya satu dari dua pilihan.
Yaitu hubungan bisnis dengan Cina, atau subsidi dari pemerintah AS.
Undang-undang tersebut akan melarang perusahaan memperluas manufaktur semikonduktor mereka di Cina selama 10 tahun setelah mereka mengambil hibah untuk membangun pabrik AS.
Laporan ini dipubllikasikan Bloomberg pada 18 Juli. Perusahaan dapat terus berinvestasi dalam manufaktur chip "warisan" di Cina, tetapi definisi istilah itu tidak terselesaikan.
"AS menggunakan undang-undang tersebut untuk memaksa perusahaan di negara dan wilayah dengan status kunci pada pasokan chip global dan rantai industri untuk bermain sesuai aturan AS,”kata Wang Peng, peneliti di Akademi Ilmu Sosial Beijing.
Gao Lingyun, seorang ahli di Akademi Ilmu Sosial China (CASS) di Beijing, mengatakan kepada Global Times, RUU tersebut bertujuan menahan perkembangan Cina dan menempatkan AS pada pijakan yang lebih kompetitif dengan Cina di keunggulan teknologi.