Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, ANKARA - Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menegaskan bahwa negaranya memiliki sikap yang berbeda terhadap Finlandia dan Swedia yang hendak bergabung dengan NATO.
Pernyataan ini disampaikannya kepada audiensi pemuda di provinsi Bilecik pada hari Minggu kemarin.
"Swedia akan terkejut saat kami menanggapi Finlandia secara berbeda. Tapi Finlandia seharusnya tidak melakukan kesalahan yang sama," kata Erdogan.
Baca juga: Presiden Turki Erdogan Minta Swedia Ekstradisi 120 Militan Kurdi jika Ingin Gabung NATO
Perlu diketahui, kedua negara Nordik tersebut sama-sama mencapai kesepakatan dengan Turki pada Juni lalu untuk bergabung dengan blok militer pimpinan Amerika Serikat (AS) itu.
Baik Swedia maupun Finlandia telah berjanji untuk tidak memberikan dukungan kepada kelompok yang telah ditetapkan Turki sebagai teroris, lalu akan mengekstradisi tersangka terorisme, dan menghapuskan embargo senjata yang melibatkan salah satu dari negara-negara tersebut.
Sebagai imbalannya, Turki diharapkan mendukung keanggotaan mereka pada NATO.
Namun, pakta itu retak pada awal bulan ini, saat politisi sayap kanan Swedia-Denmark Rasmus Paludan membakar Al-Quran di depan Kedutaan Bedar Turki di Swedia dan bersumpah untuk menghancurkan kitab suci Islam setiap Jumat, sampai Swedia diizinkan masuk NATO.
Baca juga: Erdogan Meradang, Finlandia Boleh Gabung NATO Tapi Tanpa Swedia
Dikutip dari laman Russia Today, Senin (30/1/2023), Erdogan membahas tindakan provokatif dalam sambutannya pada hari Minggu lalu.
"Apakah (Swedia) dapat menghapus Islam dengan membakar Alquran kita? Mereka hanya menunjukkan betapa tercelanya mereka. Denmark melakukan hal yang sama," tegas Erdogan.
Paludan membakar salinan Al-Quran tambahan pada Jumat lalu, kali ini aksi itu dilakukan di depan masjid, Kedutaan Besar Turki, dan Konsulat Rusia di Kopenhagen, Denmark.
Sementara itu, Perdana Menteri (PM) Swedia Ulf Kristersson mengutuk tindakan Pemimpin Partai Stram Kurs (garis keras) tersebut sebagai hal yang 'sangat tidak sopan'.
Ia pun berhenti menyerukan hukuman resmi untuk Paludan, karena politisi itu ternyata memiliki izin polisi untuk melakukan aksi tersebut di bawah perlindungan Swedia untuk kebebasan berekspresi.
Turki mengutuk keringanan hukuman negara itu, dengan alasan tindakan itu 'jelas merupakan kejahatan rasial'.