TRIBUNNEWS.COM - Konsul Jenderal Israel di New York, Asaf Zamir, mengundurkan diri setelah Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, memecat Menteri Pertahanan Yoav Gallant pada Minggu (26/3/2023).
Yoav Gallant dipecat dari jabatan Menhan setelah meminta PM Netanyahu menghentikan reformasi di Israel.
Menanggapi hal ini, Asaf Zamir memilih mundur sebagai Konsul Jenderal di New York.
"Dengan berat hati, saya menulis kepada Anda hari ini untuk memberi tahu Anda tentang pengunduran diri saya sebagai Konsul Jenderal Israel di New York," tulisnya di akun Twitter, Senin (27/3/2023).
"Situasi politik di Israel telah mencapai titik kritis, dan saya merasakan rasa tanggung jawab yang mendalam dan kewajiban moral untuk membela apa yang benar," lanjutnya.
Baca juga: FIFA Batalkan Drawing Piala Dunia U-20, Imbas Penolakan Kehadiran Timnas Israel
Pengunduran ini merupakan bentuk dukungan Asaf Zamir terhadap mantan Menhan Yoav Gallant, yang ia anggap benar.
"Keputusan berbahaya hari ini untuk memecat Menteri Pertahanan, meyakinkan saya bahwa saya tidak dapat lagi mewakili Pemerintah ini," katanya, menanggapi keputusan PM Netanyahu soal reformasi.
"Saya semakin prihatin dengan kebijakan pemerintah baru, dan khususnya, reformasi peradilan yang dipimpinnya. Saya yakin itu reformasi ini merusak fondasi sistem demokrasi kita dan mengancam supremasi hukum di negara kita," katanya, mengakhiri surat pengunduran dirinya, dikutip dari Sputnik.
Baca juga: Aksi Protes Meluas di Israel, Naftali Bennett Desak Netanyahu Hentikan RUU Reformasi Peradilan
Reformasi Hukum di Israel
Pada Sabtu (25/3/2023), saat masih menjabat sebagai Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant menyerukan penghentian reformasi kepada PM Netanyahu.
PM Netanyahu telah menyerukan perombakan yudisial atau peradilan di Israel pada beberapa bulan lalu, melalui sebuah RUU.
Perubahan sistem hukum itu akan memberi hak kepada parlemen, Knesset (badan legislatif Israel), dan partai yang berkuasa untuk mengendalikan peradilan di Israel, dikutip dari CNN Internasional.
Kendali tersebut termasuk, memilih hakim, memilih undang-undang apa yang dapat diputuskan oleh Mahkamah Agung (MA), hingga dapat membatalkan keputusan MA.
Perubahan sistem hukum itu akan menjadi perombakan paling signifikan bagi Israel sejak tahun 1948.
Reformasi hukum Israel ini muncul dari spektrum politik di masa lalu yang menginginkan perubahan itu.
Baca juga: Sebelum Dipecat, Menhan Israel Minta Perombakan Yudisial Harus Dihentikan
Alasan Reformasi Hukum di Israel
PM Netanyahu dan pendukungnya menganggap MA adalah kelompok yang tidak mewakili rakyat Israel.
Mereka menganggap MA selama ini telah masuk ke masalah yang seharusnya tidak diputuskan.
RUU yang diajukan pemerintahan Netanyahu adalah elemen penting untuk mencapai tujuannya.
RUU berisi perubahan komite beranggota 9 yang bertugas memilih hakim, menjadi hak pemerintah mayoritas untuk berada di kursi komite itu.
Sebelum menjadi undang-undang, RUU itu harus melewati tiga suara di Knesset (badan legislatif Israel).
RUU ini masih menjadi kontroversi di Israel yang menimbulkan protes di seluruh wilayah.
“Kami pergi ke tempat pemungutan suara, memilih, dan dari waktu ke waktu, orang-orang yang tidak kami pilih memutuskan untuk kami,” kata Menteri Kehakiman Yariv Levin saat mengumumkan reformasi pada awal Januari 2023.
Sebelumnya, Israel telah mengesahkan undang-undang yang mempersulit PM yang sedang menjabat untuk dinyatakan tidak layak menjabat, membatasi alasan ketidakmampuan fisik atau mental dan mengharuskan PM itu untuk memilih deklarasi semacam itu.
UU baru itu dianggap sebagai cara melindungi kekuasaan PM Netanyahu, yang sedang menghadapi pengadilan korupsi.
Dengan suara akhir 61 banding 47, Knesset menyetujui RUU yang menyatakan bahwa hanya perdana menteri sendiri atau kabinet, dengan mayoritas dua pertiga, yang dapat menyatakan pemimpin tidak layak.
(Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)
Berita lain terkait PM Israel