Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Jepang
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Kerugian serius dari penipuan khusus (Oleolesagi) terus berlanjut.
Menurut Badan Kepolisian Nasional Jepang, melaporkan ada 17.520 pada tahun 2022, dan jumlah kerugian mencapai 36,14 miliar yen, melebihi tahun sebelumnya, dan jumlah kerusakan meningkat pesat untuk pertama kalinya dalam delapan tahun terakhir.
Salah seorang mantan penipu Oleolesagi yang telah dibebaskan penjara Mei 2014 bersaksi kepada Chugoku Shimbun diberitakan hari ini (17/4/2023).
Serangkaian perampokan luas, terutama di wilayah Kanto, juga muncul, dan pada bulan Maret pemerintah mengumumkan rencana penanggulangan darurat, termasuk "pekerjaan paruh waktu gelap" untuk merekrut penjahat dengan honor biasanya satu juta yen sehari.
Sebuah kelompok penipuan yang menyelinap ke orang tua yang mengenakan "topeng" anak laki-laki atau berpura-pura sebagai petugas polisi menjadi pelaku utama yang dengan terampil memanipulasi ujungnya dan menyedot uang dalam jumlah besar.
Wannan (51) mantan residivis yang dibebaskan Mei 2014 menceritakan semua tingkah laku para penipu sambil mengisap rokok mentol dengan nada bicaranya sopan dan tenang.
Wannan adalah mantan anggota grup nakal "Naga" (Dragon) yang berakar di pinggiran kota Tokyo, sejak didirikan. Setelah menjalani 13 tahun operasi pencurian dan penipuan, dia tertangkap dan masuk penjara dibebaskan pada Mei 2014, dan hampir sembilan tahun telah berlalu sejak itu.
Penipuan Oleolesagi merupakan bentuk awal penipuan khusus yang terus menimbulkan banyak kerugian.
Wannan yang telah terlibat dalam banyak kejahatan, mengungkapkan bahwa dia terlibat pada awalnya. Beberapa tahun sebelum tahun 2003, jumlah korban meningkat pesat dan menjadi masalah sosial.
Pada akhir 1980-an Wang dan rekan-rekannya menciptakan kelompok anak berandalan bernama Dragon.
Dia lahir di Provinsi Jilin, Tiongkok dan datang ke Jepang pada tahun 1986. Wannan beremigrasi setelah ayah China-nya menikah lagi dengan wanita Jepang yatim piatu yang ditinggalkan di China.
"Ketika saya masuk sekolah menengah pertama di Tokyo, saya dibully karena saya tidak bisa berbahasa Jepang dengan baik. Sekitar tahun 1988, saya membentuk kelompok dengan anak yatim piatu generasi kedua yang tertinggal dalam keadaan serupa, dan mulai menyebut dirinya Dragon," papar Wannan.
Menggunakan kekerasan sebagai pembalasan. Akhirnya, itu meningkat dan berubah menjadi kelompok yang mendapat uang dari kejahatan.